Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Sofyan Djalil mengatakan, besarnya porsi investor swasta atau asing tersebut karena memang pemerintah tidak memiliki dana besar untuk membangun pembangkit listrik. Sementara pembangkit yang dibutuhkan dalam waktu cepat.
"Pemerintah nggak punya uang. IPP kalau bikin 100-200 MW itu US$ 2-3 miliar (hingga Rp 42 triliun), itu tak banyak perusahaan dalam negeri yang mampu, maka kita mengundang investor asing untuk berpartisipasi," ujar Sofyan, di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (2/9/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akan butuh lama kalau hanya mengandalkan APBN," imbuhnya.
Akan tetapi, bukan berarti proyek tersebut lepas dari pengendalian pemerintah. Pihak asing juga tidak bisa seenaknya menghentikan operasi pembangkit listriknya di Indonesia. Perusahaan asing yang menjadi Independent Power Producer (IPP) terikat oleh Power Purchase Agreement (PPA) atau perjanjian jual-beli listrik dengan PT PLN (Persero).
"Kalau IPP yang dikelola sampai habis periode kontraknya, jadi masa kontrak IPP misalnya 20 tahun selama itu ya mereka kelola. Tapi tetap orang kita juga yang kerja. karena kemampuan kita mengelola pembangkit listrik itu sudah bagus. Tapi kalau biasanya Jepang investornya mereka cuma beberapa expert, yang akan mengawasi. Tapi dalam korporat itu dilakukan oleh investor," paparnya.
(mkl/rrd)











































