Demikianlah diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo kepada detikFinance, Selasa (16/2/2016).
"Makanya sebenarnya kapasitas Ditjen Pajak nggak dibesarkan dan target yang tinggi maka semua menjadi agresif karena ukuran kinerja hanya pencapaian target," jelasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prastowo menilai target tersebut masih sangat tinggi, tidak sesuai dengan kemampuan kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Terutama dari sisi masih terbatasnya jumlah pegawai dan pendataan wajib pajak (WP) yang tidak optimal.
"Harusnya untuk target yang tinggi, harus ada perubahan komprehensif. Sekarang dipotong-potong. Target naik, tunjangan dinaikan tapi kalau tidak tercapai malah dipotong. Mereka mau jadi badan tapi tunggu. Ini belum bisa jalan kalau UU KUP belum direvisi," terangnya.
Pemerintah, menurutnya belum tepat untuk mematok target yang terlalu tinggi. Meskipun target tersebut merefleksikan besarnya potensi pajak yang belum digali. Namun setidaknya juga harus kembali dilihat kemampuan untuk merealisasikan target tersebut.
Dalam skema APBN, bila pajak tidak bisa memenuhi target, sementara belanja yang tinggi bisa terealisasi, maka solusi yang muncul adalah pelebaran defisit anggaran. Artinya akan ada penambahan utang untuk menutup defisit. Meskipun defisit dibatasi pada level 3%.
"Ini dari sisi waktu nggak pas untuk menetapkan target tinggi," tegasnya.
Prastowo menyarankan agar target pajak direvisi pada level yang lebih realistis. Kemudian key performance indicator (KPI) untuk petugas pajak diarahkan tidak hanya bertumpu pada penerimaan, namun juga sisi kepatuhan WP.
"KPI harus dimodifikasi. Jangan cuma soal penerimaan, tapi kepatuhan seperti penambahan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) baru, penyerahan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak yang meningkat dan angka penalty yang menurun," tukasnya. (mkl/hns)











































