Seorang warga RT 20/17 Muara Baru, bernama Ambosenga tak keberatan dengan proyek ini meski harus menggusur huniannya yang berdekatan dengan pantai utara Jakarta, di Muara Baru.
"Setuju karena dapat membantu keselamatan dari banjir air pasang laut, yang biasa terjadi dari November-Desember. Kalau misalkan ada penggusuran dampak pembangunan, asal diganti rugi dengan nilai sesuai," kata Ambosenga kepada detikFinance, Kamis (9/10/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya minta ganti rugi di atas Rp 2 juta per meter," katanya.
Selain persoalan ganti rugi lahan, Ambosenga yang berprofesi sebagai nelayan ini berpesan agar pemerintah memberikan ruang lahan di tepi pantai untuk tempat bersandar kapal-kapal nelayan, jika harus direlokasi ke tempat lain.
"Kami ingin ada tempat dari perahu yang tak jauh dari lokasi tempat tinggal, yang nantinya dipindahkan, kemungkinan dipindah ke rusun Muara Baru, atau ke Marunda," katanya.
Seperti diketahui peletakan batu pertama (groundbreaking) yang dilakukan Menko Perekonomian Chairul Tanjung, hari ini masih tahap A dari tiga tahapan pembangunan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD)/Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN).
Tahap pertama ini yakni penguatan tanggul dan peninggian tanggul di garis pantai Jakarta sepanjang 32 kilometer. Fase ini belum sampai ke tahap pembangunan tembok luar di tengah laut, yang membentuk pola daratan seperti burung garuda.
Konsep tanggul laut 'Garuda Raksasa' di perairan Teluk Jakarta dianggap sebagai opsi terbaik untuk mencegah Jakarta Utara tenggelam di 2050. Konsep ini banyak punya manfaat seperti adanya tanggul dan waduk raksasa di Teluk Jakarta.
Diperkirakan butuh anggaran hingga Rp 500 triliun (pemerintah dan swasta) untuk menyelesaikan proyek ini secepatnya pada 2022 atau paling lambat 2030.
(hen/hds)











































