Jakarta -
Pemerintah baru saja merombak jajaran direksi dan komisaris untuk 2 bank BUMN, yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dan PT Bank Mandiri Tbk. Dari pergantian itu, ada nama komisaris yang berasal dari partai politik atau dan tim sukses Jokowi.
Di bank-bank BUMN, gaji komisaris BUMN cukup besar. Untuk posisi Komisaris Utama, gajinya bisa 50% dari gaji Direktur Utama. Sementara untuk Komisaris lain, gajinya 50% dari gaji direktur.
Di jajaran
Komisaris Bank Mandiri, ada Cahaya Dwi Rembulan Sinaga. Ia menjadi bagian dari relawan yang bergabung di Tim Transisi Jokowi-JK untuk bagian dari Kelompok Kerja (Pokja) Rumah Transisi bagian pendidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara di jajaran
Komisaris BNI, ada Pataniari Siahaan, yang merupakan politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kelahiran Balige, Sumatera Utara, pada 30 Juli 1946. Pataniari juga merupakan Kepala Pusat Studi Konstitusi & Peraturan Perundang-undangan sekaligus dosen Universitas Trisakti, Jakarta.
Bagaimana kata menteri di Kabinet Kerja Jokowi-JK dan pengamat soal penunjukan Komisaris dari Parpol dan Tim Sukses ini? Berikut rangkuman
detikFinance, Rabu (18/3/2015).
Menurut mantan Sekretaris Kementerian BUMN sekaligus Pengamat BUMN, M Said Didu, selama ini tidak ada undang-undang (UU) yang melarang tim relawan atau tim sukses presiden, atau anggota partai politik mendapat posisi komisaris di BUMN.
"Kalau memang punya kompetensi yang tidak apa-apa, karena memang tidak dilarang undang-undang," kata Said kepada
detikFinance.
Said menambahkan, hal semacam ini memang sudah biasa terjadi, terutama saat pergantian pemerintahan. "Ini biasa setiap pergantian kekuasaan," kata Said.
Lain halnya dengan direksi BUMN. Ada Peraturan Menteri Nomor PER-01/MBU/2012 yang diteken Dahlan Iskan pada 20 Januari 2012 saat masih menjabat Menteri BUMN.
"Tapi sebaiknya BUMN tetap konsisten untuk mengutamakan kompetensi dari orangnya. Jangan korbankan kompetensi hanya demi memberikan posisi kepada pihak yang dekat dengan kekuasaan," ujar Said.
Posisi komisaris di BUMN sudah sejak lama jadi incaran Partai Politik. Sudah ada peraturan menteri BUMN yang mengatur soal hal ini.
Setiap ada pergantian pemerintahan, biasanya dilanjut dengan perombakan jajaran direksi dan komisaris di perusahaan pelat merah. Menurut mantan Sekretaris Kementerian BUMN sekaligus Pengamat BUMN, M Said Didu, saat berganti penguasa, biasanya banyak pengajuan nama-nama untuk menjabat sebagai komisaris BUMN.
"Itu biasa setiap pergantian penguasa. Saya juga mengalami hal yang sama, pada saat itu hampir 350-400 orang yang diusulkan oleh tim sukses dan partai pendukung," ujar Said kepada detikFinance.
Maka dari itu, kata Said, perlu dilakukan seleksi secara mendalam dari nama-nama calon komisaris BUMN. Menurutnya, calon komisaris BUMN harus punya kompetensi yang sesuai dengan perusahaan yang akan diawasi.
"Waktu itu juga saya seleksi dulu. Dengan melihat kompetensinya, tidak sampai 50 orang dari 400 yang diusulkan yang memang memiliki kompetensi," imbuhnya.
Pada Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor: PER- 04/MBU/2009 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Direksi dan Komisaris/Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara, di Pasal VI ayat 4 disebutkan, persyaratan lain anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas adalah bukan dari pengurus Partai Politik dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif.
Namun pada kenyataannya, para calon ini tinggal mengundurkan diri dari partai atau anggota legislatif, sebelum mencalonkan diri. Sehingga sudah memenuhi syarat dalam aturan Kementerian BUMN tersebut.
Selain Permen tersebut, belum ada lagi undang-undang yang secara tegas melarang komisaris BUMN berasal dari partai politik atau tim sukses.
"Tapi sebaiknya BUMN tetap konsisten mengutamakan kompetensi. Jangan korbankan kompetensi hanya demi memberikan posisi kepada pihak yang dekat dengan kekuasaan," ujarnya.
Posisi komisaris BUMN sering jadi incaran banyak pihak. Pasalnya, penghasilan yang didapat cukup besar. Mantan Sekretaris Kementerian BUMN sekaligus Pengamat BUMN, M Said Didu mengatakan, rata-rata gaji komisaris BUMN sekitar 30-50% dari direktur utama. Selain gaji, para komisaris ini juga mendapatkan tunjangan dan tantiem alias bonus.
"Besar (gaji komisaris). Kalau misalnya di bank Tbk (terbuka) itu rata-rata 50% dari dirut," kata Said kepada detikFinance.
Misalnya di Bank Mandiri, gaji direktur utama (dirut) sekitar Rp 250 juta per bulan, maka gaji komisaris utama (komut) sekitar Rp 125 juta per bulan. Belum ditambah tunjangan dan bonus tahunan (tantiem).
Kalau diumpamakan tantiem dirut sebesar Rp 3 miliar dalam satu tahun, maka komut akan terima tantiem sebesar Rp 1,5 miliar.
Menurut Said, gaji yang fantastis ini yang biasanya jadi incaran partai politik (parpol) untuk menempatkan salah satu perwakilannya di perusahaan pelat merah.
"Bukan hanya parpol, tapi bisa juga orang yang dekat dengan penguasa, seperti misalnya relawan atau bekas tim sukses," katanya.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak boleh berasal dari parpol.
Hal ini juga sudah ditegaskan dalam Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor: PER- 04/MBU/2009 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Direksi dan Komisaris/Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara.
Pada Pasal VI ayat 4 disebutkan, persyaratan lain anggota dewan komisaris dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan pengurus Partai Politik dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif.
Namun pada kenyataannya, para calon ini tinggal mengundurkan diri dari partai atau anggota legislatif, sebelum mencalonkan diri. Sehingga sudah memenuhi syarat dalam aturan Kementerian BUMN tersebut.
"Kalau komisaris (BUMN), pada prinsipnya tidak boleh dari partai politik (parpol). Tapi kalau mantan parpol atau DPR, tidak masalah," kata Sofyan kemarin.
Menurut Sofyan, selama ini tidak banyak mantan anggota parpol atau tim sukses yang dapat jabatan komisaris di BUMN.
"Itu pun biasanya cuma satu, sisanya fungsional," ujar Sofyan.
Halaman Selanjutnya
Halaman