Di Kabupaten Nganjuk misalnya, sejumlah petani mengaku telah menyetok hasil panen bawang merah, namun kemudian tidak dibeli oleh Bulog. Sehingga bawangnya sampai hari ini dibiarkan di gudang-gudang.
Sekretaris Jenderal Dewan Bawang Nasional, Amin Kartiawan Danova, mengungkapkan masuknya Bulog sebagai 'bandar' baru dalam distribusi bawang mendorong munculnya aksi spekulasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Begitu bawangnya numpuk di Nganjuk, Bulog hilang begitu saja, tak mau beli bawang yang sudah distok. Ini juga yang merugikan petani yang kebetulan punya stok," tambah Amin.
Dia melanjutkan, selain aksi spekulan, harga yang tak sesuai dengan harga ketetapan Bulog, membuat pembelian oleh Bulog mengalami kendala di lapangan. Padahal, lanjutnya, varietas bawang yang tak sama memiliki selisih harga yang berbeda jauh.
"Memang ada bawang yang murah, bawang yang tumbuh di atas 800 meter di atas laut atau bawang dataran tinggi. Harganya murah, rogol (tanpa daun) saja sudah ada yang Rp 12.000/kg. Bahkan sekarang mungkin turun lagi Rp 10.000/kg," jelas Amin.
Menurutnya, varietas bawang Bima dari dataran rendah seperti Brebes, Nganjuk, atau Bima berbeda dengan bawang yang tumbuh di daerah-daerah sejuk seperti Malang, Temanggung, atau Garut.
"Jadi bukan bawangnya tidak ada. Kelompok saya pun bisa stok 1.000 ton bawang Brebes kalau harganya sesuai. Saya malah sudah pernah tawarkan tapi belum direspon Bulog. Saat ini harganya Rp 20.000/kg, sudah rogol," pungkas Amin.
(hns/hns)











































