Kepala BKPM: Pengusaha China Tutup Pabrik, Kita Bujuk Pindah ke RI

Kepala BKPM: Pengusaha China Tutup Pabrik, Kita Bujuk Pindah ke RI

Maikel Jefriando - detikFinance
Jumat, 09 Sep 2016 18:45 WIB
Foto: M Aji Surya
Jakarta - China menjadi salah satu sorotan bagi banyak negara dalam pertemuan G20. Ekonomi dunia yang sulit bangkit diperkirakan terjadi karena melimpahnya produksi barang manufaktur dari negeri tirai bambu tersebut. Khususnya besi dan baja.

Produk China berhasil membanjiri pasar dunia, sehingga menimbulkan ketimpangan pada neraca perdagangan. Hal ini tentunya memukul ekspor dari negara-negara lain dan membuat ekonomi sulit tumbuh seperti yang diharapkan.

"G20 akhirnya setuju bahwa kita punya masalah besar di overcapacity. Khususnya jenis industri besi dan baja di China," tegas Thomas Lembong, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Istana Negara, Jakarta, Jumat (9/9/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah China, kata Thomas, juga menunjukkan keseriusan untuk ikut membenahi perekonomian dunia. Salah satunya menutup pabrik dan mendorong perusahaan agar berinvestasi di negara lain.

"Mau, tapi memang itu sakit. Karena kan dia tutup pabrik, dibongkar, dipindahin. Tapi saya lihat mereka serius sekali, karena memang sudah tidak sustainable dari sisi polusi, terus kredit macet di perbankan," paparnya.

Peluang Indonesia

Kondisi tersebut harus ditangkap cermat oleh pemerintah. Indonesia masih membutuhkan banyak uang untuk melanjutkan pembangunan yang sudah direncanakan, sebagai modal untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Thomas menjelaskan, tidak hanya Indonesia yang berminat, melainkan banyak negara berkembang lainnya. Sebut saja seperti Vietnam, Bangladesh, hingga negara-negara di Afrika.

"Ya kita harus meyakinkan mereka untuk mau pindah ke sini, bukan hanya ke Vietnam atau Bangladesh, atau Afrika. Kan lebih dekat ke kita daripada Afrika," ujar Mantan Menteri Perdagangan tersebut.

Sejauh ini China memberikan peranan besar dalam investasi. Sekarang berada dalam urutan ke 13 dengan jumlah investor terbanyak di dalam negeri. Namun itu tidak termasuk perusahaan China yang berinvestasi di Indonesia akan tetapi melewati negara lain.

Sektor yang dituju adalah manufaktur. Misalnya pengolahan hasil tambang, semen, dan sejenisnya, menurut Thomas, sangat cocok bila investor China masuk ke Indonesia.

"Jadi memang ketertarikan investor China itu banyak di pabrik semen, smelter, industri logam pemrosesan. Kebetulan justru itu yang kita cari," imbuhnya.

Tawaran pemerintah adalah penciptaan iklim bisnis yang kondusif serta percepatan perizinan. Ini memang masih dilakukan, namun diharapkan bisa selesai dalam waktu dekat.

"Seperti sudah diuraikan Presiden berkali-kali, kita ini suka membelit diri kita sendiri. Persyaratan, aturan yang terlalu kaku, juga mental kita yang kurang, mental melayani investor, kita masih seperti lebih birokrat yang mengatur-atur, bukan pejabat yang mau membantu mereka, kerja turun tangan. Itu mentalnya," papar Thomas.

Upah buruh tetap akan menjadi daya tarik bagi Indonesia, akan tetapi juga diselaraskan dengan tingkat produktivitas. Thomas mencontohkan, buruh di Indonesia dalam seminggu bekerja selama 40 jam, sedangkan Vietnam 48 jam, namun besaran upahnya juga sama.

"Bagaimana kalau begitu? Jadi memang harus ada fleksibilitas. Kita tidak bisa terlalu kaku, kita harus dinamis dan menyesuaikan upah dengan produktivitas," tandasnya. (mkl/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads