Para perusahaan pengelola taksi konvensional mengeluh tak bisa bersaing dengan taksi online yang menerapkan tarif lebih murah. Sebab mereka yang basisnya merupakan perusahaan teknologi aplikasi tidak dibebani biaya lainnya seperti perawatan armada kendaraan.
Namun menurut Pengamat Transportasi Azas Tigor seharusnya hal itu bukan menjadi alasan. Perusahaan taksi konvensional sudah hadir lebih dulu dan menguasai pasar, seharusnya mereka tidak mudah dihantam pemain baru seperti taksi online.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Azas, hal itu karena para perusahaan taksi konvensional sudah terbiasa dimanjakan dengan proteksi dan subsidi dari pemerintah. Sehingga sulit ketika menemukan pesaing baru.
"Merekan mengandalkan proteksi dan subsidi, misalnya pajak dikurangi, kalau proteksi minta dilindung. Saya enggak tahu apa ini PHK hanya ngeluh supaya dapat proteksi lagi?," imbuhnya.
Dia juga memandang pola manajemen bisnis taksi konvensional terlalu boros. Dengan mengandalkan jumlah armada yang banyak beban operasional semakin tinggi. Ada biaya-biaya seperti kredit pembelian kendaraan hingga biaya perawatan kendaraan.
Selain itu kesejahteraan para supir taksi konvensional juga masih rendah. Hal itu membuat para supir juga tergiur mendengar pendapatan taksi online jauh lebih besar.
"Mereka digaji. Apakah supir taksi sudah sejahtera? Padahal yang banting tulang supir," tambahnya.
Dengan terbiasa boros, minim inovasi dan terbiasa dimanjakan pemerintah dengan proteksi dan subsidi membuat perusahaan taksi konvensional sulit bersaing dengan taksi online.
"Jadi begitu ada persaingan baru kaget mereka, enggak bisa mereka. Apalagi pesaingnya terbuka, masyarakat bisa melihat," tandasnya. (dna/dna)











































