Para perusahaan maskapai justru mengeluhkan faktor biaya operasional yang tinggi, salah satunya harga bahan bakar avtur.
Industri maskapai di Indonesia dinilai mulai tidak efisien. Hal itu ditandai dengan meningkatnya harga tiket sejak Januari 2019 dan menjadi polemik hingga hari ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Industri Maskapai Membaik Selepas Orde Baru
|
Foto: Thinkstock
|
Guru besar ilmu ekonomi sekaligus peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini mengatakan, industri penerbangan di masa lampau adalah sejarah pasar yang buruk karena praktek kartel.
"Setelah reformasi dan ditetapkan UU Persaingan Usaha dan anti monopoli tahun 1999, maka industri ini bersaing secara sehat, industri menjadi efisien, harga tiket terjangkau dan jumlah penumpang menigkat pesat," ujarnya dalam diskusi online.
Menurut data yang dia jabarkan pertumbuhan industri maskapai terlihat dari jumlah perjalanan yang meningkat pesat sejak awal tahun 2000an. Hal itu lantaran para pemain di dalamnya sudah melakukan persaingan secara sehat.
Sejak saat itu industri penerbangan semakin bersaing dan menjadi lebih efisien. Maskapai dengan tarif murah atauow cost carrier mulai bermunculan dan masyarakat banyak menikmati harga tiket murah. Dampaknya ekonomi secara keseluruhan menjadi lebih efisien sehingga perdagangan antar pulau meningkat.
"Ini merupakan keberhasilan baru yang memudahkan perpindahan orang dan barang di dalam negeri dan membantu berdagangan lebih efisien di tengah angkutan laut kurang baik," kata Didik.
Sayangnya, Didik menilai, industri penerbangan saat ini mulai mengarah ke zaman orde baru. Dia melihat adanya gelagat praktit kartel. Pelaku dengan struktur pasar yang terkonsentrasi dapat dengan mudah mengendalikan harga
"Sekarang sejak akhir tahun 2018 harga tiket meningkat pesat dan tidak turun kembali sebagai tanda ada indikasi praktek persaingan tidak sehat. Coba lihat grafik awal selama hampir dua dekade industri ini tumbuh terus dengan harga tiket yang kita nikmati selama ini efisien. Kalau mereka rugi tak akan tumbuh," tutupnya.
Masa Kelam Industri Maskapai
|
Foto: Saul Loeb/AFP
|
"Industri ini pada masa sebelum UU persaingan usaha adalah industri yang paling tidak efisien di dunia karena praktek kartel yang didukung oleh pemerintah dalam hal ini menteri perhubungan. Pelaku melakukan kesepakatan kartel kemudian menentukan harga batas bawah yang tinggi dan mahal. Semua pelaku dilarang untuk bersaing, tidak boleh menjual tiket di bawah harga patokan," ujar Didik
Dengan penentuan harga batas bawah yang disepakati oleh para pemain, membuat harga tiket pesawat kala itu terus meningkat. Didik menilai kesepakatan itu justru melarang pelaku untuk melakukan efisiensi.
"Inilah praktek kartel paling sempurna yang menyebabkan harga tiket sangat tinggi dan tidak hanya membebani konsumen tetapi membebani ekonomi secara keseluruhan. Praktek kartel tersebut semakin sempurna karena negara menjadi pendukung dan pelndungnya dengan penetapan patokan harga melalui surat keputusan menteri perhubungan," tambahnya.
Praktek itu luntur sejak 1999 setelah reformasi DPR menetapkan UU anti monopoli dan persaingan sehat. Sejak itu praktek kartel jaman orde baru karena KKN berhadapan dengan UU tersebut sehingga surat keputusan menteri perhubungan yang menetapkan patokan harga melanggar undang-undang tersebut.
"Praktek kebijakan menteri perhubungan sejatinya adalah kartel yang dilakukan oleh negara," tambahnya.
Sejak saat itu KPPU mulai mengikis praktek kartel tersebut dengan cara meminta menteri perhubungan pada waktu itu jenderal Agum Gumelar untuk menghapus harga patokan.
Penyebab Kenaikan Tarif Maskapai
|
Foto: AFP/Elliott VERDIER
|
Dia menjelaskan, industri penerbangan sejak 2009 dikuasai oleh Lion Air Group. Lion Air yang bergerak di bisnis Low-Cost Carrier (LCC) sudah mulai merajai sejak 2008 jauh meninggalkan Garuda Indonesia.
"Semenjak tahun tersebut, dominasi Lion Air semakin tidak terbantahkan. Tahun tersebut juga ditandai dengan merosotnya kinerja Batavia Air, Mandala, dan Merpati. Alhasil Lion Air dengan harga yang relatif lebih murah bisa merajai industri penerbangan tanah air," terangnya.
Namun sejak Lion Air Group meluncurkan Batik Air di 2013, fokus Lion Air berubah untuk lebih mengembangkan Batik Air sebagai pesaing dari Garuda Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan Garuda Indonesia yang fokus mengembangkan Citilink untuk menjadi pesaing utama Lion Air di LCC.
"Dilihat secara Group, Garuda Indonesia dan Lion Air bersaing ketat pada periode 2009-2015. Namun Lion Air Group tetap yang memimpin dengan pangsa pasar lebih dari 45% hingga pada tahun 2017, pangsa pasar Lion Air Group sudah mencapai 50 persen. Bahkan pada tahun 2018 bisa mencapai lebih tinggi. Sedangkan Garuda Indonesia mulai menurun semenjak 2015. Faktor perubahan manajemen disinyalir menjadi penyebab menurunnya pangsa pasar perusahaan BUMN ini," tambahnya.
Huda menjelaskan, kecurigaannya terhadap praktik duopoli didasarkan pada tingkat concentration ratio di industri ini mencapai 83% pada 2017. Penguasaan pasar itu membuat kedua perusahaan teratas bebas untuk menentukan harga ataupun kuantitas dari penerbangan.
"Hal ini semakin diperparah dengan bergabungnya Sriwijaya Air Group ke dalam Garuda Indonesia Group yang semakin memperbesar tingkat konsentrasi pasar pada dua group penerbangan nasional tersebut. Air Asia tidak akan mampu menembus pangsa pasar mereka berdua," tambahnya.
Huda mengaku tidak percaya alasan dari maskapai yang membuat harga tiket naik adalah harga avtur yang tinggi. Dia menjabarkan data bahwa harga avtur di Pertamina jauh lebih rendah dari harga avtur di Singapura ataupun di Malaysia.
"Bahkan harga avtur diakui Kementerian BUMN terus menurun sejak November tahun lalu. Hal ini senada dengan penurunan harga minyak dunia pada akhir tahun 2018 hingga awal tahun ini. Jadi Harga avtur yang memang mencapai 40-45% dari total biaya perusahaan, bukan menjadi penyebab mahalnya harga tiket pesawat," tutupnya.
Halaman 2 dari 4











































