Dalam catatan detikcom, penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara memang sangat alot. Bahkan lebih dari satu dekade baru bisa diselesaikan. Pada tahun 2019 lalu, pemerintah baru mendesak kembali Australia untuk menyelesaikan kasus tersebut yang berujung disepakatinya ganti rugi untuk Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman yang saat itu dijabat Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, selama ini pemerintah Australia merasa tak memiliki tanggung jawab atas permasalahan tersebut. Itu yang menyebabkan kasus ini berlarut-larut.
"Kita akan diskusi ke Australia dan bilang bahwa pemerintah Australia harus tanggung jawab terhadap pencemaran laut Timor 2009 lalu. Sudah 10 tahun belum ada jawaban jelas," katanya di Kantor Kemenko Kemaritiman, Jakarta Pusat, Kamis (11/4/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Purbaya menjelaskan sejak awal kasus ini terjadi, ada beberapa pihak yang terlibat atas kejadian tersebut. Mulai dari PTTEP, Australian Maritime Safety Authority (AMSA), perusahaan Halliburton, dan Sea Drill Norway.
Sebetulnya, pada 2010 telah dilakukan Nota Kesepahaman antara Dubes Australia Greg Moriarry dan Freddy Numbery. Itu merupakan titik awal penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara.
Sayangnya, nota kesepahaman itu cuma sebatas hitam di atas putih, tidak pernah sekalipun ditindaklanjuti oleh Australia. Bahkan pemerintah Indonesia sendiri.
"Hal ini tidak pernah ditindaklanjuti baik oleh Australia dan Indonesia, sehingga masih terkatung-katung sampai sekarang," ujarnya saat itu.
Permasalahannya pun bukan cuma berkutat di tumpahan minyak. Purbaya mengatakan, AMSA juga menggunakan bubuk kimia Dispersant jenis Corexit 9872 A dan lain-lain yang sangat beracun. Mereka menyemprotkan bubuk kimia ini untuk tenggelamkan sisa tumpahan minyak Montara ke dalam dasar Laut Timor.
"Akibatnya, 1 kali 24 jam banyak sekali ikan besar dan kecil mati termasuk di kawasan kita (Indonesia)," terangnya.
Pemerintah Indonesia intensif bergerak mengatasi masalah ini melalui Tim Montara Task Force. Satuan tugas itu memulai tugasnya dengan melakukan pertemuan secara langsung pada 20-27 April 2019 ini di Canberra, Australia.
Masih di tahun 2019, petani yang jadi korban pun melakukan aksi gugatan class action alias gugatan berkelompok lewat pengadilan federal Sydney pada Juni 2019.
Saat itu para petani dari kawasan Nusa Tenggara Timur menggugat ganti rugi sekitar 200 juta dolar Australia, atau lebih dari Rp 2 triliun. Mereka mengaku pendapatan mereka berkurang setelah adanya pencemaran tersebut.
Hingga akhirnya, perjuangan pemerintah dan petani baru mendapat titik terang di tahun ini, tepatnya setelah 12 tahun kasus bergulir tanpa penyelesaian dan alot. Gugatan yang diajukan dimenangkan dan pihak PTTEP dinyatakan bersalah.
(hal/hns)