Jika AS Ancam China Agar Tak Bela Rusia, Efeknya Bakal Ngeri

Jika AS Ancam China Agar Tak Bela Rusia, Efeknya Bakal Ngeri

Trio Hamdani - detikFinance
Rabu, 16 Mar 2022 20:15 WIB
FILE - President Joe Biden listens as he meets virtually with Chinese President Xi Jinping from the Roosevelt Room of the White House in Washington,Nov. 15, 2021. The Biden administration announced on Thursday that it is levying new sanctions against several Chinese biotech and surveillance companies operating out of Xinjiang province, casting another shot at Beijing over human rights abuses against Uyghurs in western China. (AP Photo/Susan Walsh, File)
Foto: AP Photo/Susan Walsh, File
Jakarta -

Eks Duta Besar RI untuk Polandia 2014-2019 Peter F Gontha menilai bakal ada efek mengerikan jika Amerika Serikat (AS) sampai mengancam China agar tidak membela Rusia dalam konteks perseteruan dengan Ukraina.

"Dampak ekonomi ke dunia internasional sudah terasa. Harga gandum dan biji-bijian sudah melonjak tinggi. Efek mengerikan terjadi jika USA mengancam China untuk tidak boleh ikut campur membela Rusia yang dikenakan sanksi," katanya dikutip dari siaran pers, Rabu (16/3/2022).

Dijelaskannya bahwa sanksi ekonomi sudah berdampak pada aset pribadi warga Rusia di seluruh dunia. Hal itu preseden berbahaya, karena Rusia mengancam melancarkan perang siber (cyber war) ke AS yang akibatnya bisa menakutkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Indonesia juga sangat bergantung ke Rusia terutama industri pupuk, industri pertahanan terutama ketika Sukhoi pertama dulu dibeli. Jadi harus bersiap-siap," papar Peter.

Dia pun menyebut bibit-bibit persoalan Rusia dengan negara-negara eks Union of Soviet Socialist Republics (USSR) berpotensi banyak. Terutama yang berbatasan langsung dengan Eropa Barat. Kasus Georgia dan Ukraina menurutnya amat berpotensi untuk mengganggu rasa nyaman Rusia dari ancaman secara geopolitik dan militer setelah dua negara itu berniat bergabung ke NATO.

ADVERTISEMENT

"Ukraina merupakan negara di mana banyak infrastruktur dan peralatan perang Rusia ditempatkan," sebut dia.

Saat ini, lanjut dia, peralatan perang Rusia sedang dalam proses dikembalikan sebelum invasi Rusia pada 25 Februari 2022. Namun saat ini setelah beberapa kali perundingan, Ukraina sepakat untuk mengurungkan niat bergabung ke NATO.

"Rusia juga mengizinkan Ukraine untuk bebas formal dan non formal berhubungan ekonomi dengan IEU, asal jangan bergabung dengan NATO," terangnya.

Pada kesempatannya, Ekonom INDEF Eisha M Rachbini menjelaskan perang Rusia dan Ukraina memberikan dampak global dengan ancaman krisis energi dan ancaman inflasi, juga dampak dari sisi supply-demand.

"Krisis saat ini telah mendorong naiknya harga minyak dunia menjadi di atas US$ 100 per barel. Beberapa hari kemarin malah sampai menyentuh US$ 130/barel. Terjadi juga kenaikan tinggi pada harga komoditas CPO, batubara. Terutama gas bumi di mana Rusia dan Ukraina adalah ekportir dan pemain utama gas pasar global," papar Eisha.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Krisis Ukraina juga memunculkan gangguan rantai pasokan (supply chain disruption). Jika perang berkepanjangan dan banyak jalur-jalur pasokan global dan infrastruktur pelabuhan rusak, rantai pasokan global akan terhambat.

Padahal, jelas dia, sebelum krisis Ukraina, dunia baru saja berusaha pulih dari krisis rantai pasokan global akibat pandemi COVID-19. Krisis Ukraina menambah goncangan bagi sisi penawaran untuk bahan-bahan komoditas.

"Dari sisi demand, ketika harga-harga naik yang mengakibatkan final goods (barang jadi) meningkat maka masyarakat akan mengeluarkan lebih banyak uang. Akibatnya daya beli menjadi semakin turun," terangnya.

Jika krisis berlangsung lebih lama maka pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan lebih lemah, stagnan, dan cenderung menurun, dan inflasi terancam lebih tinggi lagi. Pertumbuhan ekonomi dunia yang semula diramalkan 3,9% pada 2022, menurutnya dengan krisis Ukraina maka IMF dan Bank Dunia diperkirakan akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi dunia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula diramalkan 5,6% pada 2022 diperkirakan akan lebih rendah jika perang berlanjut.

Dijelaskan bahwa Rusia menyumbang 1,9% total barang ekspor dunia, bermitra dengan China, Uni Eropa dan USA. Rusia juga mengekspor 49% minyak bumi dan gas ke Uni Eropa dan negara ke 7 eksportir gas untuk Jepang, UE, Jepang dan China. Rusia juga mengekspor batubara.

"Krisis Ukraina telah memicu kelangkaan energi dunia dan memicu kenaikan tinggi harga CPO dan komoditas lain. Harga CPO telah menyentuh 8 ribu ringgit per ons, batubara mencapai US$ 400 per ton," ujar dia.

Lanjutnya, perang Rusia dan Ukraina menyebabkan ketergantungan terhadap negara mana saja terutama hubungan perdagangan. Pada perdagangan internasional dengan Rusia dan Ukraina terjadi melalui rantai pasokan tak langsung ekspor melalui negara lain. Dalam hal ini China.

"Ketika terjadi kontraksi negative growth, maka akan menekan demand barang-barang dari China. Eskpor bahan baku Indonesia ke China terhitung besar. Akan ada dampak tidak langsung terhadap supply perdagangan internasional yang juga akan mempengaruhi international trade Indonesia," tambah Eisha.


Hide Ads