Rentetan Kenaikan UMP 5 Tahun Terakhir, Buruh Minta 13% di 2023

Rentetan Kenaikan UMP 5 Tahun Terakhir, Buruh Minta 13% di 2023

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Selasa, 18 Okt 2022 06:30 WIB
Demo buruh 12 Oktober 2022 akan serentak digelar di seluruh Indonesia, termasuk Jakarta. Ada enam tuntutan yang akan disuarakan pada demo besar-besaran itu.
Ilustrasi Buruh. Foto: Kiagoos Auliansyah
Jakarta -

Nilai upah minimum provinsi (UMP) di seluruh penjuru RI menjadi salah satu isu yang tengah menjadi sorotan Serikat Buruh. Tidak tanggung-tanggung, beberapa bulan terakhir mereka menuntut kenaikan upah minimum 2023 sebesar 13%. Alasannya, ialah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta inflasi di beberapa sektor ekonomi yang dianggap mempersulit rakyat.

Pada dasarnya, penyesuaian upah minimum disampaikan secara nasional oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melalui Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Kemnaker). Pemerintah provinsi pun turut andil, di mana mereka akan mengumumkan besarannya per bulan November setiap tahunnya untuk diimplementasikan di tahun berikutnya.

Bila ditarik ke belakang dalam lima tahun terakhir, setiap setiap tahunnya besaran kenaikan UMP terus menurun. Besarannya pun bervariasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam hal ini, pemerintah mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Nantinya, besarannya akan disesuaikan kembali oleh pemerintah provinsi. Aturan tersebut berlaku hingga penetapan UMP 2020, hingga muncul ketetapan baru pada 2021.

Dari catatan detikcom, pada 2017 silam Kemnaker menetapkan kenaikan UMP sebesar 8,25%. Kenaikan itu didapatkan dengan asumsi inflasi 3,07% dan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,18%.

ADVERTISEMENT

Selanjutnya, pada 2018 UMP Juga dinaikkan sebesar 8,71%. Kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71% dihitung berdasarkan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional (PDB) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Rinciannya, inflasi nasional sebesar 3,72% dan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,99%.

Kemudian pada 2019, Kemnaker menaikkan UMP sebesar 8,03%. Kenaikan dihitung dari inflasi nasional sebesar 2,88% ditambah pertumbuhan PDB sebesar 5,15%. Lalu untuk UMP 2020, Kemnaker menetapkan kenaikannya sebesar 8,51%.

Sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tidak ada kenaikan pada UMP 2021 secara nasional. Oleh karena itu, UMP masih mengacu pada tahun sebelumnya.

Namun ada beberapa provinsi yang memutuskan tetap menerapkan kenaikan UMP, di antaranya Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. UMP 2021 di Jawa Tengah meningkat 3,27% dibanding setahun sebelumnya. Sementara, UMP 2021 DI Yogyakarta naik sebesar 3,54%.

Tidak lama berselang, pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang disahkan Presiden RI Joko Widodo pada 2 Februari 2021. Sejak saat itu, penetapan UMP pun mengacu pada aturan tersebut serta Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pun mengungkap hasil perhitungan penyesuaian nilai UMP dan UMK 2022 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan perhitungan BPS, rata-rata penyesuaian UMP senilai 1,09%. Upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan meliputi variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah.

Dan untuk UMP 2023, perhitungannya pun masih sama seperti di tahun 2022 lalu, yakni mengacu pada PP Nomor 36 tahun 2021. Belum diketahui apakah UMP 2023 akan naik atau tidak. Berdasarkan diagram aksi persiapan penetapan upah minimum, penetapan oleh gubernur akan diumumkan pada 21 November 2022 untuk UMP dan 30 November 2022 untuk UMK.

Hanya saja, penggunaan PP Nomor 36 tahun 2021 itupun dikecam oleh para buruh, merujuk pada besarannya yang terlampau kecil dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pun meminta pemerintah kembali ke aturan lamanya, yakni PP 78 tahun 2015.

Untuk tahun depan para buruh menuntut kenaikan UMP yang lebih tinggi yakni 13%. Baca di halaman berikutnya.

Buruh Minta UMP 2023 Naik 13%

Tidak hanya itu, buruh pun secara spesifik menuntut pemerintah untuk menetapkan kenaikan upah minimum 2023 sebesar 13%, dengan perhitungan yang masih merujuk pada PP 78 tersebut. Hal tersebut disampaikan oleh Presiden KSPI sekaligus Serikat Buruh, Said Iqbal, sembari menjelaskan beberapa skema.

"BPS mengumumkan inflasi September 2021 ke September 2022 berkisar sekitar 5,95%, inflasi umum bukan makanan. Dengan demikian berarti kalau kita hitung inflasi sampai Oktober. Kan kenaikan upah minimum itu September ke Oktober karena menghitung penetapan upah minimum itu 1 November. Maka kalau kita hitung dari September sampai Oktober itu akan tembus di atas 6%," katanya.

Said menjelaskan, nilai tersebut muncul dengan asumsi inflasi bulan Oktober tidak jauh berbeda dengan di bulan September 2022 yang mencapai 1,17%. Dengan demikian, menurutnya minimal inflasi akan naik 1% sehingga kalau dijumlahkan akan mencapai 6,5%.

Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi RI di kuartal II ialah 5,1%. Said menyebut, dengan kenaikan harga BBM daya beli tentu akan menurun. Seperti kondisi daya beli buruh yang telah turun sebanyak 30%. Dengan merujuk pada data Litbang Partai Buruh, Said mengatakan angka pertumbuhan ekonomi berkisar di 4,9-5,1%.

"Kalau kita pakai angka terendah, 4,9% adalah pertumbuhan pasca kenaikan BBM, ditambah 6,5% inflasi, maka akan didapat angka 11,4%. Dengan dasar 11,4% itulah ditambah alfa, alfa itu adalah nilai produktivitas, Partai Buruh dan KSPI mendesak pemerintah kenaikan upah buruh 2023 sebanyak 13%," jelasnya.

Oleh karena itu, menurutnya kenaikan tersebut dirasa lebih sesuai dibandingkan dengan merujuk PP 36 tahun 2021 yang berkemungkinan hanya 1-2% atau bahkan sama sekali tidak naik.


Hide Ads