Jakarta -
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara membantah ada perusahaan cangkang dalam dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Kemenkeu yang sedang heboh. Tudingan itu sebelumnya dikatakan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) terkait adanya transaksi janggal yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan.
Perusahaan cangkang adalah sebuah perusahaan yang bisnisnya tidak aktif, asetnya sangat sedikit, atau bahkan perusahaan yang hanya ada di atas kertas. Gampangnya, perusahaan tersebut hanya sekadar nama tetapi tidak ada wujud fisiknya.
Suahasil mengatakan pihaknya menerima 135 surat terkait transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu senilai Rp 22,04 triliun, dengan rincian Rp 18,7 triliun terkait korporasi dan sisanya Rp 3,3 triliun terkait pegawai. Nilai ini merupakan bagian dari Rp 349 triliun yang sedang heboh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari Rp 22 triliun, itu kan Rp 18,7 triliun adalah tentang korporasi. Kemarin ada yang mengatakan ini cangkang-cangkang, saya mau uraikan PT A, PT B, PT C, PT D, PT E, PT F," kata Suahasil saat konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2023).
Pertama adalah PT A, Suahasil menyebut ini adalah perusahaan perkebunan. Jumlah transaksi yang terkait senilai Rp 11,38 triliun pada periode 2017-2018 dan memiliki 5 rekening. Setelah semua dianalisa katanya tidak ditemukan aliran dana ke pegawai Kemenkeu dan keluarga.
"PT A itu adalah informasi yang diminta oleh Itjen Kemenkeu pada Februari 2022 atas kegiatan pengumpulan bahan dan keterangan karena adanya dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pemeriksa pajak. Pemeriksa pajaknya diminta datanya, yang terkait dengan dia muncul nama PT A," jelas Suahasil.
Selanjutnya PT B, yang kata Suahasil adalah perusahaan otomotif dengan nilai transaksi 2,76 triliun. Terkait data ini diminta oleh Itjen Kemenkeu ke PPATK ketika melakukan audit investigasi atas dugaan penerimaan uang oleh pegawai Kemenkeu.
Ketiga, Suahasil mengatakan PT C adalah perusahaan di bidang penyedia pertukaran data. Terkait informasi ini juga diminta oleh Itjen Kemenkeu ke PPATK pada 2015 saat melakukan pengawasan internal atas dugaan benturan kepentingan, di mana total transaksi Rp 1,88 triliun.
"PT C ini adalah perusahaan di penyedia pertukaran data. Jadi juga kegiatan yang sesungguhnya, bukan sebagai cangkang," jelasnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Simak Video: Beda Penjelasan Mahfud dan Srimul soal Data Transaksi Janggal Rp 349 T
[Gambas:Video 20detik]
Selanjutnya, PT D dan PT E merupakan perusahaan pribadi dengan total transaksi yang terkait sebesar Rp 2,22 triliun. Beda dengan sebelumnya, terkait informasi ini merupakan inisiatif dari PPATK untuk mendukung pengumpulan penerimaan negara.
Terkait hal itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) disebut telah melakukan pemeriksaan khusus kepada individu D dan E tersebut.
"Saudara D-nya sudah wafat, jadi tidak ditindaklanjuti. Kelahiran tahun 1930, memang sudah tua. Kalau yang E, sudah diselesaikan dan diterbitkan surat ketetapan pajaknya tahun 2021 lalu, dari hasil pemeriksaan khusus," jelas Suahasil.
Sementara terkait PT F, informasi ini juga permintaan Itjen Kemenkeu ke PPATK pada 2020 saat melakukan pengumpulan bahan dan keterangan atas dugaan penyimpangan pengadaan dan dugaan gratifikasi dengan total transaksi Rp 452 miliar.
"PT F ini ada 3 perusahaan, rekeningnya ada 14, itu dibuka semuanya dan dilakukan pendalaman satu per satu. Keterangan dari PPATK adalah teridentifikasi digunakan sebagai rekening untuk kegiatan operasional. Yaudah perusahaan biasa beroperasional beli barang, jual barang, terima uang, keluar uang dan untuk menerima dana dari transaksi setoran tunai tanpa underlying dengan keterangan cicilan, angsuran dan pelunasan," jelas Suahasil.
"Ini untuk memberikan ilustrasi bahwa PT PT tersebut yang Rp 22 triliun itu adalah perusahaan-perusahaan yang riil. Kita pelototi betul ketika kita minta data dan hubungan kita dengan PPATK sangat detail, rapat bertubi-tubi, informasi itu mengalir sangat flowing," tambahnya.
PPATK Sebut Modus Cuci Uang di Kemenkeu Punya Perusahaan Cangkang
Sebelumnya PPATK mengungkapkan ada oknum di Kemenkeu yang menggunakan perusahaan cangkang sebagai modus pencucian uang. Bahkan satu oknum bisa memiliki 5-8 perusahaan cangkang.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menduga perusahaan cangkang ini modus yang lazim dalam TPPU. Biasanya oknum akan menggunakan tangan orang lain untuk menutupi kejahatannya.
"Alasan kenapa PPATK memberikan data oknum plus nama perusahaannya, karena kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan-perusahaan cangkang yang dimiliki oknum sehingga ini nggak bisa dikeluarkan. Misalnya dia menggunakan nama perusahaan dengan nama pemiliknya di aktanya adalah istrinya, anaknya, sopirnya, tukang kebunnya dan segala macam. Kalau ini dikeluarkan jadilah Rp 3,3 triliun," katanya dalam RDPU di Komisi III, Rabu (29/3/2023).
"Tapi kami tidak lakukan itu karena modus pelaku tindak pencucian uang itu adalah selalu... Ini kan kita bicara tindak pidana pencucian uang kan bicara proxy crime, orang yang melakukan tindak pidana selalu menggunakan tangan orang lain, bukan diri dia sendiri, sehingga kalau kami keluarkan data itu, nah kami justru membohongi penyidiknya," tambahnya.