Indonesia merupakan produsen terbesar di dunia untuk rumput laut tropikal. Sayangnya, potensi yang sangat besar itu belum dimanfaatkan dengan optimal.
Direktur Sea6 Energy Pvt Ltd Agus S Wiguna mengatakan, Indonesia telah menjadi produsen untuk rumput laut tropikal sejak tahun 2000-an. Rumput laut juga menjadi salah satu sumber daya yang dikembangkan secara ramah lingkungan sehingga bisa menjadi salah satu alternatif energi baru terbarukan (EBT).
"Belakangan ini rumput laut dikatakan sebagai emas hijau. Hal ini karena ada banyak potensi dari rumput laut yang bisa kita kembangkan. Indonesia adalah produsen terbesar rumput laut tropical di dunia, itu karena ada banyak pesisir yang bisa kita kembangkan," kata Agus, dalam acara Indonesia Aquaculture Business Forum 2024 kerja sama detikcom dengan KKP di Hotel Raffles Jakarta, Jakarta Selatan, Senin (29/4/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun demikian, saat ini pengembangan rumput laut masih sangat terbatas, utamanya baru di sektor makanan. Misalnya seperti rumput laut jenis gracilaria yang dikembangkan untuk produk agar-agar. Padahal, masih banyak potensi lainnya yang bisa dijajaki.
"Sebenarnya rumput laut masih bisa dimanfaatkan menjadi produk olahan lain yang bisa kita kembangkan seperti bioplastic, dan kita juga bisa membuat minyak mentah dari rumput laut," ujarnya.
Agus mengatakan, saat ini industri rumput laut masih mengandalkan teknik tradisional, terutama di sektor hulu atau budidayanya sehingga produktivitasnya terbilang masih cukup rendah. Hal inilah yang menjadi salah satu masalah utama dalam mengembangkan sektor ini.
"Maka dari itu, kami dari Sea6 Energy berusaha untuk mengembangkan inovasi baru di bidang hulu, seperti membuat otomasi atau mekanisasi dari beberapa tahapan budidaya rumput laut. Seperti tahap pengikatan rumput laut atau pembibitan yang biasanya masih mengandalkan ibu-ibu untuk mengikat," tuturnya.
Berkaca dari masalah itu, pihaknya membuat mesin otomasi yang bisa meningkatkan kuantitas bibit yang bisa ditanam. Selain itu juga pihaknya merancang mesin yang bisa membantu dalam distribusi bibit dari tempat budi daya ke tempat penanaman.
"Dari inovasi tersebut kami berharap bisa meningkatkan produktivitas sehingga bisa menurunnya biaya produksi. Dengan menurunnya biaya produksi, maka kami bisa membuat beberapa aplikasi baru. Misalnya, pupuk bio stimulan, bioplastik, bahkan bio-crude oil. Sekarang memang belum ekonomis, untuk membuat bioplastik dan crude oil," kata dia.
Dari efektivitas dan efisiensi dari ekosistem produksi rumput laut melalui penggunaan teknologi, menurut Agus ada sejumlah manfaat yang bisa diperoleh. Pertama, biaya produksi bisa ditekan sehingga lebih ekonomis dan menguntungkan. Selain itu, juga ada potensi besar dari sisi penyediaan lapangan kerja.
"Per 100 km persegi budi daya, di sektor hulu kita bisa membantu lingkungan dengan menangkap karbon dioksida sekitar 1/2 juta ton per tahun. Kita juga bisa menambah lapangan kerja lebih dari 10.000 tenaga kerja baru," ujar Agus.
Lalu di sektor hilir, juga ada potensi peningkatan produksi hingga menjadi 1 juta ton kering dari 100 km persegi. Hal ini bisa menambah serapan tenaga kerja di sektor hilir lebih dari 5.000 orang. Dengan menurunnya produktivitas
"Dengan menurunnya produktivitas dengan 1 juta ton tersebut, kita bisa menggantikan 120 ribu ton minyak mentah yang sekarang sudah ada. Selain itu dengan adanya inovasi, kita juga bisa membuat industri pengolahan di sumber-sumber budi daya di daerah-daerah terpencil dengan beberapa teknologi baru," jelasnya.
Menurutnya, dengan melihat gambaran tersebut, masih sangat besar potensi di Indonesia. Harapannya, ke depan dukungan dari pemerintah akan terus berjalan, serta semakin banyak swasta nasional maupun internasional yang mau berinvestasi di sektor rumput laut.
(shc/das)