IHSG Ambruk 4% di Maret Dibayangi Ekonomi AS, Kapan Nanjak Lagi?

ADVERTISEMENT

IHSG Ambruk 4% di Maret Dibayangi Ekonomi AS, Kapan Nanjak Lagi?

Hendra Kusuma - detikFinance
Rabu, 14 Apr 2021 10:29 WIB
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 5% ke level 4.891. Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara perdagangan saham siang ini.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kinerja negatif selama bulan Maret 2021. PT Manulife Aset Manajemen Indonesia mencatat ada beberapa faktor yang membuat IHSG minus 4,11%.

Senior Portfolio Manager, Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma mengatakan menurunnya kinerja IHSG di bulan Maret 2021 karena dibayangi kekhawatiran inflasi di Amerika Serikat (AS).

"Sentimen pasar dibayangi oleh kekhawatiran inflasi akan melonjak di Amerika Serikat (AS) karena proses vaksinasi yang berjalan baik dan adanya stimulus besar dari Presiden Biden dapat mempercepat pemulihan ekonomi," katanya dalam keterangan resminya yang dikutip, Rabu (14/4/2021).

Selain itu, kinerja IHSG yang negatif juga dibayangi kekhawatiran yang berasal dari The Fed, khususnya mengenai kebijakan pengetatan moneter.

"Sentimen ini tercermin dari melonjaknya imbal hasil US Treasury (UST) yang naik dari kisaran 0,9% di akhir 2020 ke kisaran 1,7% di akhir Maret 2021," katanya.

UST merupakan instrumen penting dalam pasar finansial global karena digunakan sebagai acuan aset risk-free (aset bebas risiko) dan menjadi salah satu metrik acuan untuk berbagai instrumen finansial lain secara global. Imbal hasil UST juga dapat mengindikasikan ekspektasi pasar terhadap kondisi ekonomi dan arah kebijakan moneter The Fed.

"Oleh karena itu melonjaknya imbal hasil UST menyebabkan ketidakpastian dan volatilitas di pasar finansial global," tambah Samuel.

Mengenai pergerakan imbal hasil UST, Samuel menilai kenaikan tersebut mencerminkan ekspektasi pasar yang lebih positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dirinya justru melihat hal tersebut tidak sebagai ancaman lonjakan inflasi yang panjang di negeri Paman Sam dan memaksa The Fed mengetatkan kebijakan moneternya.

"Ekonomi Amerika Serikat masih dalam tahap pemulihan dan tingkat pengangguran masih relatif tinggi pada level 6%, jauh dari level 3,5% sebelum pandemi, sehingga tekanan inflasi masih relatif lemah walau ada stimulus fiskal," ujarnya.

Ke depannya imbal hasil UST masih dapat bergerak naik seiring dengan ekonomi AS yang membaik. Namun kenaikannya akan lebih terbatas dan gradual karena beberapa faktor berikut:

1. Wacana kenaikan pajak yang akan diajukan pemerintahan Joe Biden.
2. Laju pemulihan yang cenderung lebih lambat dari ekspektasi seiring dengan risiko third wave COVID-19 di beberapa kawasan.
3. Potensi meningkatnya pembelian UST oleh investor global seiring dengan imbal hasil UST yang telah naik ke level atraktif.

"Kenaikan imbal hasil UST yang lebih gradual akan mengurangi kekhawatiran pasar dan dapat mengembalikan sentimen investor global. Tingkat imbal hasil UST saat ini yang di kisaran 1,7% pun sebetulnya masih relatif rendah, karena dalam 10 tahun ke belakang rata-rata imbal hasil UST di kisaran 2,0%, sehingga level UST saat ini masih pada level yang wajar dan tetap suportif bagi pasar finansial," ungkapnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT