Menteri Badan Perencanaan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, hal ini terjadi karena ada fenomena enclave atau kawasan khusus yang dibuat kontraktor, sehingga keberadaan kekayaan gas tidak menggerakkan ekonomi wilayah tersebut.
Kontraktor migas membuat kawasan sendiri yang seolah terisolasi dengan kawasan masyarakat sekitar dengan fasilitas lengkap untuk kalangan sendiri, seperti klinik, sekolah, perumahan, sampai bandara sendiri.
Ia ingin pengalaman pahit Arun dan Bontang tak boleh terulang lagi pada Masela.
"Apa yang salah dengan Arun dan Bontang? Ini karena konsep enclave, planning dari kota yang dibentuk untuk mendukung industri gas di Arun dan Bontang. Kontraktor juga punya peran, memang enggak 100%," kata Bambang dalam diskusi 'Pengelolaan Masela untuk Siapa' di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (24/2/2017).
"Apa simbolnya ada enclave? Paling gampang ada lapangan terbang sendiri di dalam kompleks migas. Itu nyata, kayak di Bontang badara itu dibuat bukan untuk Bontang, tapi untuk migas. Ada pemisahan wilayah kerja, mereka yang bekerja, dan keluarganya, dengan wilayah sekitar enclave. Fasum fasos khusus untuk pegawai saja," tambahnya.
Hal inilah yang menurut dia tidak boleh lagi terjadi di Blok Masela. Menurutnya, meski dibangun kontraktor migas, fasilitas tersebut juga harus bisa dipakai untuk masyarakat sekitar, sehingga bisa jadi penggerak ekonomi daerah secara optimal.
"Masela prinsipnya jangan enclave, perumahan enggak perlu dipisahkan, toh sama-sama masyarakat. Fasum fasos seperti klinik dan sekolah tidak eklusif. Jangan kayak di Aceh yang kemudian muncul jealous (cemburu), warga Louksmawe malah tak menikmati apa-apa dari Arun," ungkap Bambang.
"Misalnya kalau klinik ya itu bisa dipakai sama masyarakat sekitar. Tapi kalau karyawan bisa pakai klinik untuk kelas satunya misalnya," katanya lagi. (idr/dna)