Produk Impor Deras Mengalir, Industri Tekstil Jabar Menjerit

Sejumlah pekerja menenun benang menggunakan mesin di pabrik kawasan Majalaya, Kabupaten Bandung, Kamis (3/10/2019).
Para pengusaha industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Jawa Barat merasa terancam dengan derasnya produk impor yang mayoritas dari China. Hal tersebut terjadi sejak keluarnya Permendag No 64 tahun 2017.
Menurut Pengusaha Tenun Majalaya, Agus Ruslan, aturan ini membuat pedagang pemegang izin angka pengenal importir umum dibolehkan mengimpor kain, benang, dan serat dengan bebas. Akibatnya, produk TPT terutama sarung dan kain tenun yang diproduksi industri kecil dan menangah (IKM) di Jabar terus mengalami penurunan omzet.
Pabrik sarung yang besar maupun kecil di Majalaya saat ini harus berusaha keras agar bisa bersaing dengan produk impor tersebut. Kondisi semakin berat selama setahun ke belakang ini.
Bahkan dampak dari banjir produk impor ini, tak hanya penurunan omzet saja, ada 3 pabrik sarung di Majalaya yang cukup besar tutup karena bangkrut.
Agus menjelaskan, produk sarung buatan IKM Majalaya, sangat sulit bersaing dengan produk Cina. Karena, perbandingan harga bahan bakunya di Majalaya sangat mahal.
Semua pengusaha, harus membeli bahan baku dengan menggunak dolar. Sehingga, cost produksinya cukup tinggi.
Menurut Agus, di Majalaya pengusaha sarung awalnya ada sekitar 350 pabrik termasuk IKM. Namun, sekarang banyak yang tak bertahan.
Tak hanya pengusaha kain, pengusaha kaos di Jabar pun ikut menjerit dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 tersebut. Menurut Pengusaha Konveksi Kaos, M Dean Irvandi, dia biasa menjual  kaos polos itu Rp 35 ribu per piece nya. Pelanggan sudah ga order, karena, dia sekarang ngambil kaos impor yang harganya Rp 18 ribu.
Menurut Dean, ia akan kesulitan kalau harus bersaing dengan produk impor karena, harga Rp 18 ribu tersebut tak menutup ongkos bahan mauapun produksi. Selain itu, ada banyak karyawannya yang harus digaji.
Sejumlah pekerja menenun benang menggunakan mesin di pabrik kawasan Majalaya, Kabupaten Bandung, Kamis (3/10/2019).
Para pengusaha industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Jawa Barat merasa terancam dengan derasnya produk impor yang mayoritas dari China. Hal tersebut terjadi sejak keluarnya Permendag No 64 tahun 2017.
Menurut Pengusaha Tenun Majalaya, Agus Ruslan, aturan ini membuat pedagang pemegang izin angka pengenal importir umum dibolehkan mengimpor kain, benang, dan serat dengan bebas. Akibatnya, produk TPT terutama sarung dan kain tenun yang diproduksi industri kecil dan menangah (IKM) di Jabar terus mengalami penurunan omzet.
Pabrik sarung yang besar maupun kecil di Majalaya saat ini harus berusaha keras agar bisa bersaing dengan produk impor tersebut. Kondisi semakin berat selama setahun ke belakang ini.
Bahkan dampak dari banjir produk impor ini, tak hanya penurunan omzet saja, ada 3 pabrik sarung di Majalaya yang cukup besar tutup karena bangkrut.
Agus menjelaskan, produk sarung buatan IKM Majalaya, sangat sulit bersaing dengan produk Cina. Karena, perbandingan harga bahan bakunya di Majalaya sangat mahal.
Semua pengusaha, harus membeli bahan baku dengan menggunak dolar. Sehingga, cost produksinya cukup tinggi.
Menurut Agus, di Majalaya pengusaha sarung awalnya ada sekitar 350 pabrik termasuk IKM. Namun, sekarang banyak yang tak bertahan.
Tak hanya pengusaha kain, pengusaha kaos di Jabar pun ikut menjerit dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 tersebut. Menurut Pengusaha Konveksi Kaos, M Dean Irvandi, dia biasa menjual  kaos polos itu Rp 35 ribu per piece nya. Pelanggan sudah ga order, karena, dia sekarang ngambil kaos impor yang harganya Rp 18 ribu.
Menurut Dean, ia akan kesulitan kalau harus bersaing dengan produk impor karena, harga Rp 18 ribu tersebut tak menutup ongkos bahan mauapun produksi. Selain itu, ada banyak karyawannya yang harus digaji.