Nasib Malang Nelayan Sri Lanka, Tak Bisa Melaut hingga Kelaparan

Nelayan Sri Lanka menyiapkan jaring ikan sebelum melaut saat matahari terbit di sebuah pantai di Mannar, Sri Lanka, Rabu, (17/8/2022). Banyak nelayan di pantai Mannar, sebuah pulau kecil di lepas pantai barat laut Sri Lanka, akhir Agustus lalu, tidak bisa melaut sama sekali.

Para nelayan dihadapkan pada krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaannya tahun 1948 yang menghancurleburkan Sri Lanka. Kekurangan bahan bakar dan inflasi tak terkendali memaksa nelayan Sri Lanka berjuang untuk mendapatkan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk melaut.

Sornam adalah salah satu nelayan yang tidak bisa melaut. Ia berusaha melanjutkan hidupnya dengan membantu mengumpulkan dan menyortir hasil tangkapan para nelayan yang berhasil berangkat.

Sornam menuturkan situasinya sulit saat ini, tidak ada minyak tanah, tidak ada makanan di rumah. Ia dan nelayan yang lain hanya mendapat pekerjaan jika datang ke laut, jika tidak maka kelaparan.

Selama berbulan-bulan tidak ada bahan bakar sama sekali di Mannar karena cadangan devisa negara itu mengering dan tidak dapat mengimpor minyak mentah untuk kilangnya.

Ketika pasokan minyak tanah kembali beberapa pekan lalu, harga minyak tanah mencapai empat kali lipat lebih tinggi dari harga semula karena Sri Lanka mencabut subsidi bahan bakar. Hanya sedikit yang bisa mendapatkannya dan kembali melaut.

Minyak tanah sebelumnya dijual dengan harga subsidi 87 rupee (Rp 16 ribu) per liter, dan sekarang dijual dengan harga 340 rupee (Rp 63 ribu) per liter, sesuai tarif pemerintah. Di pasar gelap, dijual seharga 1.800 rupee (336 ribu) per liter.

Nelayan Sri Lanka menyiapkan jaring ikan sebelum melaut saat matahari terbit di sebuah pantai di Mannar, Sri Lanka, Rabu, (17/8/2022). Banyak nelayan di pantai Mannar, sebuah pulau kecil di lepas pantai barat laut Sri Lanka, akhir Agustus lalu, tidak bisa melaut sama sekali.
Para nelayan dihadapkan pada krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaannya tahun 1948 yang menghancurleburkan Sri Lanka. Kekurangan bahan bakar dan inflasi tak terkendali memaksa nelayan Sri Lanka berjuang untuk mendapatkan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk melaut.
Sornam adalah salah satu nelayan yang tidak bisa melaut. Ia berusaha melanjutkan hidupnya dengan membantu mengumpulkan dan menyortir hasil tangkapan para nelayan yang berhasil berangkat.
Sornam menuturkan situasinya sulit saat ini, tidak ada minyak tanah, tidak ada makanan di rumah. Ia dan nelayan yang lain hanya mendapat pekerjaan jika datang ke laut, jika tidak maka kelaparan.
Selama berbulan-bulan tidak ada bahan bakar sama sekali di Mannar karena cadangan devisa negara itu mengering dan tidak dapat mengimpor minyak mentah untuk kilangnya.
Ketika pasokan minyak tanah kembali beberapa pekan lalu, harga minyak tanah mencapai empat kali lipat lebih tinggi dari harga semula karena Sri Lanka mencabut subsidi bahan bakar. Hanya sedikit yang bisa mendapatkannya dan kembali melaut.
Minyak tanah sebelumnya dijual dengan harga subsidi 87 rupee (Rp 16 ribu) per liter, dan sekarang dijual dengan harga 340 rupee (Rp 63 ribu) per liter, sesuai tarif pemerintah. Di pasar gelap, dijual seharga 1.800 rupee (336 ribu) per liter.