Matahari perlahan pancarkan cahaya lembutnya, saat petani yang hidup di pesisir Pantai Kusamba, Bali, mulai beranjak untuk beraktivitas. Berbeda dengan petani padi yang membutuhkan lahan sawah, petani di sini hidup bergantung dari pasir pantai dan air laut. Mereka adalah petani garam, setiap hari bekerja dari pagi hingga sore hari demi menghasilkan butir-butir garam dari air laut yang melimpah dengan cara tradisional, khas Kusamba.
Di kawasan Banjar Tribuana, Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali, I Wayan Purna salah satu petani garam berhasil menghidupi keluarganya berkat matapencaharian ini, konsumennya datang silih berganti mulai dari warga sekitar hingga tamu luar negeri.
Ada sejumlah hal yang membuat garam Kusamba diminati beragam konsumen, yang paling kasat mata ada pada karakteristiknya, dengan warna putih bersih berkilau bak kristal dengan buliran yang sedikit lebih besar dari garam pabrik.
Untuk rasa, dia tidak terlalu asin, lebih gurih, dan ketika petani membuatnya menggunakan palung kelapa maka akan ada sedikit rasa manis tersisa.
Wayan Purna bercerita, karakteristik garam Kusamba ini tak pernah berubah meskipun ia sendiri tak mengetahui sejarah produk ini lahir, yang pasti ia adalah generasi keempat dari keluarganya yang meneruskan kegiatan ini.
Dalam satu kali panen, dengan cuaca terik tanpa terhalang mendung, hujan, dan angin kencang, ia bisa memanen 20 kilogram garam, dan jika panen rutin dilakukan maka perkiraan dalam satu bulan ia dapat mengumpulkan 400 kilogram garam.
Garam ini disetor ke koperasi dengan harga Rp 11.000 per kilogram, sementara untuk pembeli langsung dijual Rp 25.000 per kilogram tentunya dengan kualitas lebih baik.
Lebih lama garam dibiarkan maka akan semakin kering dan gurih, garam itulah yang diberikan kepada pembeli dalam negeri maupun luar negeri yang sengaja datang ke rumah tepi pantai mereka.
Jika dihitung, dalam sebulan apabila seluruh hasil panennya habis maka ia dapat mengumpulkan uang mencapai Rp 8,6 juta bersih karena bertani garam tak membutuhkan modal biaya.