Dering Alarm Bahaya Ekonomi RI

Warga memilih sayuran di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (3/6/2025). Indonesia alami deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025 secara bulanan (month to month/mtm). Deflasi ini menjadi deflasi ketiga sepanjang tahun ini setelah Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi ini terutama disebabkan oleh turunnya harga komoditas hortikultura seperti cabai merah, cabai rawit, bawang merah, hingga penyesuaian harga BBM nonsubsidi oleh Pertamina seiring turunnya harga minyak mentah dunia.
Senior Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan penurunan sejumlah harga itu bukan berarti tanda ekonomi sehat. Melainkan adanya pelemahan daya beli. Tauhid menyebut penurunan daya beli tercermin dari melambatnya perekonomian yang hanya tumbuh 4,87% pada kuartal I-2025 (year on year/yoy). Pertumbuhan itu utamanya ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,89%, lebih rendah jika dibandingkan dengan kuartal I-2024 yang tumbuh 4,91%.
Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Menurutnya, deflasi berkepanjangan menandakan sebagian besar masyarakat menahan belanja. Hal ini membuat ekonomi ke depan lebih menantang.
Adapun akar dari permasalahan ini dinilai karena tidak banyaknya lapangan kerja tercipta. Alhasil tidak ada peningkatan pendapatan masyarakat secara agregat, yang ada justru pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat.