Potret Para Pencari Kejujuran di Tengah Isu Beras Oplosan

Aktivitas di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, terus bergulir tanpa henti, Rabu (16/7/2025). Para pekerja angkut tampak sibuk membongkar karung-karung beras dari truk yang baru datang. Wajah mereka legam oleh debu dan keringat, menggambarkan kerasnya kerja fisik yang dijalani tiap hari. Sementara itu, para pembeli—baik dari kalangan pedagang eceran maupun konsumen langsung lalu lalang meneliti kualitas beras sebelum memutuskan membeli. Potret ini menjadi cerminan denyut nadi distribusi pangan pokok ibu kota, sekaligus menjadi latar dari isu yang mencuat belakangan: beras oplosan.
Di tengah rutinitas pasar yang ramai, isu beras oplosan kembali mencuat ke permukaan. Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional mengungkap temuan beras-beras campuran yang diklaim sebagai beras premium padahal sebenarnya hasil oplosan antara beras medium dan beras impor. Temuan ini tak hanya menimbulkan keresahan di kalangan konsumen, tetapi juga menyentuh kepercayaan publik terhadap ekosistem pasar tradisional, termasuk Pasar Induk Cipinang yang menjadi barometer utama harga dan distribusi beras nasional.
Melalui visual potret para pekerja—tukang angkut, penyortir, pengemas terlihat jelas bahwa mereka adalah bagian dari rantai pasok yang paling rentan terhadap stigma negatif. Banyak dari mereka tidak memiliki pengetahuan penuh soal asal-usul beras yang mereka angkut, namun merekalah yang pertama kali terdampak jika kepercayaan terhadap pasar menurun. Mereka tetap bekerja, membanting tulang demi penghasilan harian, di tengah sorotan publik atas keaslian produk yang dijual di pasar tersebut.
Sementara itu, para pembeli pun terlihat lebih berhati-hati. Beberapa terlihat membuka karung, menggenggam butiran beras, dan mencermati tekstur serta baunya. Percakapan-percakapan kecil terjadi antar sesama pembeli, membahas kabar soal oplosan, mengeluhkan harga yang tak stabil, dan mempertanyakan kejujuran pedagang.
Isu ini menjadi dilema moral dan ekonomi. Di satu sisi, pedagang ingin bertahan dalam persaingan pasar yang semakin ketat, apalagi dengan fluktuasi harga dan tekanan distribusi pasokan dari pusat.
Di sisi lain, konsumen menuntut transparansi dan kejujuran. Di tengah dua kutub itu, para pekerja pasar seperti supir truk, buruh angkut, hingga petugas sortir hanya bisa menjalankan tugasnya tanpa tahu pasti beras mana yang murni dan mana yang hasil oplosan.
Isu beras oplosan ini menjadi peringatan penting bagi pemerintah untuk memperkuat pengawasan hulu-hilir dan meningkatkan edukasi kepada pelaku pasar, khususnya pedagang kecil. Namun lebih dari itu, visual potret dari para pekerja dan pembeli di pasar ini menggambarkan realitas bahwa di balik butir-butir padi yang kita konsumsi setiap hari, ada manusia-manusia yang bergantung hidup dari sistem distribusi pangan ini.
Kita tak hanya bicara soal kualitas beras, tetapi juga soal keberlanjutan hidup para pekerja, kepercayaan masyarakat, dan integritas sistem pangan nasional. Di tengah isu yang bergulir, wajah-wajah para buruh dan pembeli di Cipinang menjadi saksi bisu bahwa pangan bukan sekadar komoditas, tetapi urusan hidup yang tak boleh dioplos.
Di tengah riuh pasar Cipinang, wajah-wajah letih namun teguh para pekerja dan pembeli menyimpan harapan sederhana agar beras yang mereka angkut, jual, dan beli adalah beras yang jujur bukan hasil campuran yang menipu. Karena bagi mereka, setiap butir beras bukan sekadar komoditas, melainkan hasil keringat, doa, dan perjuangan.
Isu beras oplosan bukan hanya soal kualitas pangan, tapi soal kepercayaan yang dipertaruhkan. Bila kejujuran mulai dicampur demi untung semata, maka yang tercecer bukan hanya beras di lantai pasar, tapi juga harga diri seluruh rantai pangan. Biarlah pasar ini tetap menjadi tempat di mana kejujuran dan harapan tidak ikut teroplos dalam karung-karung dagangan.