Kolaborasi Mineral Kritis untuk Kemitraan Indonesia-AS yang Lebih Strategis

Kolom

Kolaborasi Mineral Kritis untuk Kemitraan Indonesia-AS yang Lebih Strategis

Heldy Satrya Putera - detikFinance
Jumat, 29 Des 2023 09:16 WIB
Bendera Amerika Serikat AS
Ilustrasi/Foto: Dok. Istimewa
Jakarta -

"You know, I've told you this before, but Indonesia is a critical player - critical in the clean energy transition world", itulah yang diungkapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden saat bertemu Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Gedung Putih pada Bulan November lalu.

Sebagai negara yang dipandang berperan penting, sudah seyogyanya Indonesia menjadi mitra utama AS termasuk dalam pengolahan mineral kritis untuk mendukung keberhasilan transisi energi kedua negara. Akan tetapi, sepertinya kedua negara masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan peluang kerja sama tersebut.

Biden benar, Indonesia merupakan salah satu negara kunci dalam mendorong transisi energi dunia. Peran ini tidak terlepas dari fakta bahwa Indonesia memiliki berbagai sumber daya alam utama pendukung transisi energi bersih seperti nikel dan kobalt yang penting untuk produksi baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain berkontribusi terhadap transisi energi bersih, pengolahan sumber daya mineral strategis tersebut juga sejalan dengan rencana pembangunan pemerintah yakni hilirisasi untuk membangkitkan kembali industri nasional dan mendorong transformasi ekonomi. Untuk mendorong hilirisasi tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan kebijakan peningkatan nilai tambah pada sumber daya alam.

Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menyampaikan harapan agar Indonesia dapat menjadi pemain utama dalam rantai pasok kendaraan listrik. Sebagian pihak memandang bahwa cita-cita tersebut menghadapi tantangan dengan berlakunya undang-undang inflation reduction act (IRA) yang dikeluarkan oleh Pemerintah AS.

ADVERTISEMENT

Dalam undang-undang tersebut, Pemerintah AS akan memberikan subsidi sebesar US$ 3.750 untuk kendaraan listrik yang mineral kritis untuk baterainya ditambang atau diproses di AS atau di negara yang memiliki perjanjian kerja sama perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) dengan AS.

Kebijakan IRA tersebut dinilai sebagian kalangan dapat menjadi hambatan besar bagi masuknya investasi ke Indonesia pada rantai pasok kendaraan listrik. Hal ini dikarenakan Indonesia hingga saat ini belum memiliki FTA dengan AS, sehingga baterai EV yang menggunakan produk olahan mineral Indonesia tidak berhak mendapat subsidi konsumen senilai US$ 3.750.

Hal ini akan menyebabkan ekspor olahan mineral Indonesia kalah saing ketimbang hasil olahan mineral dari negara lain yang memiliki FTA dengan Indonesia. Kondisi ini dapat mempengaruhi investasi yang masuk ke Indonesia, karena akan menurunkan minat investor yang berorientasi pada ekspor.

Selain itu, negara lain penghasil mineral kritis seperti Chile dan Australia telah memiliki FTA sehingga posisi Indonesia semakin sulit dalam rantai pasok mobil listrik.

Meskipun IRA dipandang sebagian pihak sebagai tantangan, justru kebijakan AS tersebut melahirkan peluang baru bagi kerja sama yang lebih erat antara Indonesia dan negara Paman Sam tersebut. Kebijakan IRA ini semakin menegaskan betapa kedua negara memiliki hubungan dengan potensi saling menguntungkan yang signifikan.

Lanjut ke halaman berikutnya

Indonesia memiliki bahan baku strategis bagi produksi baterai EV yang AS ingin dorong untuk berkembang di negaranya. Indonesia saat ini merupakan produsen nikel terbesar di dunia, di mana sekitar setengah dari pasokan nikel global saat ini berasal dari Indonesia.

Tidak hanya nikel, namun Indonesia kini juga merupakan produsen kobalt terbesar ke-2 di dunia. Dengan target penjualan mobil listrik 50% dari semua penjualan mobil di tahun 2030, maka diperkirakan kebutuhan nikel AS akan mencapai 200 ribu ton per tahunnya.

Angka sebesar itu akan sulit bahkan mungkin mustahil untuk dapat dipenuhi oleh AS tanpa ada kontribusi nikel dari Indonesia. Dengan kata lain, untuk mengembangkan ekosistem EV secara optimal, peran Indonesia menjadi hampir tidak tergantikan bagi AS.

Tidak hanya penting dari segi ekonomi, namun Indonesia juga memiliki nilai strategis bagi AS dari aspek geopolitik. AS saat ini aktif mendorong konstelasi kawasan Asia Pasifik agar tidak didominasi oleh satu negara tertentu saja.

Hal ini membutuhkan pendekatan proaktif dari AS, jika tidak maka konsentrasi pengaruh di kawasan dari satu negara tertentu akan terus terjadi. Hal ini juga sejalan dengan prinsip luar negeri Indonesia yakni bebas aktif dimana Indonesia berkomitmen untuk menjalin kemitraan positif dengan seluruh negara dan ingin menghindari dominasi oleh satu pihak tertentu saja.

Untuk itu, kerja sama yang lebih kuat antara Indonesia dan AS menjadi penting. IRA seakan menjadi pengingat bahwa kerja sama yang konkret dan saling menguntungkan antara Indonesia dan AS penting untuk mendorong terciptanya tatanan kawasan yang seimbang dan stabil.

Tidak hanya Indonesia yang berperan penting bagi AS, namun AS pun juga berperan penting bagi Indonesia. Peran penting AS ini di antaranya terlihat dari cita - cita pemerintah Indonesia untuk menjadi salah satu pusat penting dalam ekosistem baterai EV global.

Pasar domestik EV di Indonesia saat ini masih kecil dan tidak dapat menjadi daya tarik yang memadai bagi pemain global EV untuk masuk ke Indonesia. Sementara itu, AS saat ini merupakan pasar EV terbesar ke - 2 di dunia.

Pasar EV di AS juga diprediksi akan terus meningkat seiring dengan berbagai dukungan yang diberikan pemerintah termasuk insentif konsumen. Singkat kata, perkembangan ekosistem EV di Indonesia akan dipengaruhi oleh sejauh mana produk olahan mineral Indonesia mampu mengakses pasar EV Amerika Serikat.

Dengan adanya saling ketergantungan antara Indonesia dan AS, sudah sewajarnya jika kedua negara memulai perundingan critical minerals agreement untuk semakin mendorong kerja sama bilateral yang konkret. Hal ini juga dilakukan oleh AS dan Jepang yang sudah menandatangani limited trade agreement on critical minerals.

Lanjut ke halaman berikutnya

Pertemuan Biden dan Jokowi di AS beberapa waktu lalu memberi harapan positif bagi perundingan perjanjian mineral kritis antara kedua pihak. Kendati demikian, terdapat dua isu yang masih perlu menjadi perhatian untuk menggolkan perundingan tersebut.

Pertama adalah mendorong pembentukan ekosistem pengolahan mineral kritis di Indonesia yang sebisa mungkin tidak melibatkan foreign entities of concern (FEOC). Di satu sisi, Pemerintah Indonesia tidak ingin membatasi arus investasi yang masuk hanya dari negara tertentu saja.

Akan tetapi, di sisi yang lain ada baiknya juga bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi sumber investasi agar tidak bergantung kepada hanya satu sumber saja. Hal ini sebetulnya sudah coba dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang telah aktif menarik investasi dari berbagai negara, sehingga kini telah terdapat beberapa cluster investor pada sektor pengolahan mineral kritis, termasuk cluster yang melibatkan FEOC secara minim.

Isu kedua, yakni terkait isu ketenagakerjaan dan lingkungan. Hal ini pun sudah Indonesia coba lakukan dengan peningkatan upaya menegakan aturan terkait ESG (Environment, Social, and Governance).

Industri manufaktur dan industri pengolahan mineral di Indonesia saat ini terus didorong untuk mengikuti standar ESG internasional agar produk hasil olahan nikel dan kobalt Indonesia tergolong sebagai produk yang bersih dan sesuai dengan prinsip berkelanjutan.

Meski penerapan prinsip ESG di Indonesia belum sempurna, pada hakikatnya tentu tidak ada pemerintah yang lebih peduli terhadap lingkungan dan tenaga kerja Indonesia selain Pemerintah Indonesia yang terus berupaya membenahi implementasi dari prinsip tersebut.

Terlebih, upaya Indonesia untuk menerapkan ESG dengan lebih baik juga akan turut membantu Indonesia mengakses pasar negara atau kawasan lain dengan standar ESG yang juga ketat seperti Uni Eropa.

Menyelesaikan perundingan perjanjian mineral kritis antara Indonesia dan AS memang tidak mudah, terdapat beberapa isu dan perbedaan yang dimiliki kedua negara. Walau demikian, terlepas dari tantangan tersebut, terdapat potensi kerja sama saling menguntungkan dan saling melengkapi yang tidak dapat diabaikan kedua negara begitu saja.

Seperti Biden katakan bahwa Indonesia dan AS merupakan critical partners untuk satu sama lain, dan perjanjian mineral kritis antara kedua negara dapat menjadi langkah konkret untuk mengejawantahkan aspirasi Biden tersebut menjadi aksi.


Pengamat Kebijakan Investasi Indonesia
Heldy Satrya Putera


Hide Ads