-
Bank Indonesia (BI) pada rapat dewan gubernur bulanan 26-27 September 2018 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7 days reverse repo rate.
Bunga acuan naik 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Memang, dalam lima bulan di tahun ini sejak Mei hingga September bank sentral sudah mengerek bunga 150 bps atau 1,5%.
BI juga menaikkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5% dan lending facility naik 25 bps jadi 6,5%.
Sejumlah ekonom dan bankir memang sudah memprediksi kenaikan bunga acuan ini. Pasalnya kenaikan memang harus dilakukan untuk mengimbangi kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang juga menaikkan bunga acuan atau Fed Fund Rate.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bank sentral memiliki alasan ketika mengubah tingkat bunga acuan. Misalnya, BI juga memperhatikan normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS).
"Kami sudah mempertimbangkan probabilitas kenaikan bunga Fed Fund Rate (FFR) setelah kemarin naik masih ada lagi rencana kenaikan tahun ini, tahun depan dan tahun depannya lagi," kata Perry dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Dia menjelaskan, BI terus memantau pergerakan normalisasi tersebut. Memang, Amerika Serikat akan melakukan normalisasi tergantung dengan data dependen yang dikeluarkan.
"Berdasarkan asesmen kami, kemungkinan FFR akan naik lagi pada Desember, tiga kali lagi tahun depan dan dua kali pada 2020," jelas dia.
Kemudian, BI juga memantau dari faktor eksternal seperti seberapa jauh stimulus fiskal dari AS untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan inflasi di AS. Hal ini akan mempengaruhi probabilitas kenaikan FFR.
Selain itu ketegangan perdagangan antara AS dan China juga turut mempengaruhi pantauan BI untuk ekonomi eksternal.
Perry mengungkapkan, kondisi tersebut turut mempengaruhi perilaku investor global.
"Ini juga akan mempengaruhi pembalikan arus modal asing dari negara emerging market," jelas dia.
Namun menurut Perry, di dalam negeri ini investor global sudah melakukan respon dan melakukan antisipasi untuk kondisi-kondisi yang dipengaruhi faktor eksternal.
"Ini memang dipengaruhi oleh satu kebijakan moneter kita yang preemtive dan prudent, selain itu pemerintah juga serius dan konkret untuk menurunkan defisit transaksi berjalan," imbuh dia.
Selain bunga acuan, BI juga menaikkan bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,50%.
Keseriusan dan langkah-langkah konkret Pemerintah bersama Bank Indonesia untuk mendorong ekspor dan menurunkan impor diyakini akan berdampak positif dalam menurunkan defisit transaksi berjalan khususnya pada 2019 sehingga diprakirakan akan menjadi sekitar 2,5% PDB.
Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal.
"Ke depan, Bank Indonesia akan mencermati perkembangan perekonomian seperti defisit transaksi berjalan, nilai tukar, stabilitas sistem keuangan, dan inflasi untuk menempuh langkah lanjutan guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," ujar Perry.
Bank Indonesia (BI) menyebut depresiasi pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak awal tahun hingga saat ini sebesar 8,97%.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan angka ini lebih baik dibandingkan negara berkembang lainnya seperti India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki yang mengalami pelemahan hingga 40%.
"Nilai tukar rupiah masih mengalami tekanan dengan volatilitas yang terjaga, sejalan dengan mata uang peers akibat berlanjutnya penguatan mata uang dolar AS," ujar Perry dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Dia menjelaskan, saat ini BI akan selalu menjaga stabilitas rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya. Bahkan dia menegaskan, stabilitas yang dimaksud adalah menjaga volatilitasnya, bukan levelnya.
"BI tidak akan segan lakukan stabilisasi dalam mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah, stabilitas dalam arti volatilitasnya, bukan levelnya," jelasnya.
Bank Sentral juga memastikan, nilai tukar rupiah juga akan tetap berjalan sesuai dengan mekanisme pasar.
"Secara prinsip sepanjang mekanisme berjalan, suplply and demand berjalan, nilai tukar rupiah akan banyak dipengaruhi mekanisme pasar," tambahnya.
Rupiah secara rata-rata melemah sebesar 1,05% pada Agustus 2018. Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah relatif terbatas pada September 2018 sehingga pada 26 September 2018 ditutup pada level Rp 14.905 per dolar AS.
Untuk memperkuat stabilitas Rupiah, kenaikan suku bunga tersebut juga didukung oleh kebijakan untuk memberlakukan transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) dalam rangka mempercepat pendalaman pasar valas serta memberikan alternatif instrumen lindung nilai bagi bank dan korporasi.
Transaksi DNDF adalah transaksi forward yang penyelesaian transaksinya dilakukan secara netting dalam mata uang Rupiah di pasar valas domestik.
Kurs acuan yang digunakan adalah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) untuk mata uang dolar AS terhadap Rupiah dan kurs tengah transaksi Bank Indonesia untuk mata uang non-dolar AS terhadap Rupiah.
Transaksi DNDF dapat dilakukan oleh Bank dengan nasabah dan pihak asing untuk lindung nilai atas risiko nilai tukar Rupiah, dan wajib didukung oleh underlying transaksi berupa perdagangan barang dan jasa, investasi dan pemberian kredit Bank dalam valas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merespons kebijakan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps). BI 7 Days Reverse Repo Rate berada di level 5,75% dari sebelumnya 5,5%.
Sri Mulyani menilai langkah yang dilakukan BI sudah tepat bila melihat kondisi saat ini, di mana Indonesia perlu menjaga perekonomian tetap stabil.
"Saya rasa BI membuat keputusan sesuai dengan lingkungan yang sekarang ini dihadapi suatu keputusan yang sesuai dengan kebutuhan kita untuk menjaga stabilitas dan menjaga momentum perekonomian tetap stabil," kata Sri Mulyani di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Diberitakan sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, kenaikan suku bunga dilakukan setelah mencermati pergerakan beberapa indikator perekonomian.
"Dengan mencermati pergerakan dan berbagai indikator mengenai ekonomi global, pertumbuhan ekonomi, neraca perdagangan, nilai tukar inflasi dan sistem pembayaran, maka RDG pada 26-27 September menaikkan BI 7 days repo rate 25 bps jadi 5,75%," di Kantor BI, Jakarta Pusat, Kamis (27/9/2018).
Sementara itu, untuk suku bunga deposit facility naik 25 jadi 5% dan lending facility naik 25 bps jadi 6,5%.
Ekonom PermataBank Josua Pardede memprediksikan BI akan menaikkan kembali suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%. Ini karena bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve meningkatkan bunga acuan sebesar 25 bps.
Menurut Josua, kenaikan suku bunga acuan BI diperlukan dalam rangka mendorong attractiveness dari pasar keuangan domestik serta menekan pelebaran defisit transaksi berjalan yang didorong oleh peningkatan aktivitas ekonomi domestik.
"Dengan kenaikan suku bunga acuan tersebut diharapkan dapat menjaga CAD di sekitar 2,5%-2,7% terhadap PDB pada FY2018," kata Josua, Kamis (27/9/2018).
Selain fokus dalam menekan current account deficit (CAD), kenaikan suku bunga BI juga bertujuan untuk menjaga ekspektasi inflasi hingga akhir tahun yang diperkirakan akan berada di kisaran 3,5% hingga akhir tahun ini.
"Nilai tukar rupiah diperkirakan cenderung stabil di kisaran 14.650-14.950 per dolar AS hingga akhir tahun ini mempertimbangkan faktor risiko eksternal secara khusus dampak dari isu perang dagang antara AS dan China yang juga turut berdampak negatif bagi mata uang negara berkembang," ujar dia.
Senada dengan Josua, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah memproyeksikan BI akan mengambil langkah penyesuaian suku bunga yakni menaikkan 25 bps untuk mengikuti The Federal Reserve.
Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk Hariyono Tjahjarijadi juga memprediksi BI akan meningkatkan bunga acuan di kisaran 25 bps. Hal ini dilakukan agar bisa mengimbangi suku bunga bank sentral AS.