-
Pemerintah serius menindaklanjuti wacana perpindahan ibu kota Indonesia. Setelah sempat didengungkan kembali pada 2017 lalu, kini wacana tersebut kembali mengemuka setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membahasnya dalam rapat terbatas di Istana.
Perpindahan ibu kota bukan hal baru yang dibicarakan di negeri ini. Presiden-presiden sebelumnya mulai dari Soekarno hingga SBY sempat membahas wacana tabu ini.
Namun di era Presiden Jokowi, wacana tersebut tampaknya benar-benar akan direalisasikan. Bappenas telah mengkaji wacana tersebut selama 1,5 tahun terakhir dan bakal segera memulai implementasi rencana perpindahan ibu kota pada 2020 mendatang.
Lalu bagaimana konsep perpindahan ibu kota yang akan diambil pemerintah? Bappenas telah menyiapkan dua skenario ibu kota baru Indonesia nanti. Seperti apa? Berikut ulasan lengkapnya:
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan kesenjangan antar wilayah Indonesia yang begitu tinggi menjadi latar belakang penting wacana perpindahan ibu kota negara muncul. Jakarta yang menyandang status sebagai kota terpadat di Indonesia jumlah penduduknya mencapai 10 juta, jauh berbeda dari kota terpadat kedua, yakni Surabaya yang jumlah penduduknya hanya sekitar 3 jutaan.
"Bahkan 5 dari 10 kota terpadat itu ada di wilayah Jabodetabek. Jadi kesenjangan antara Jakarta dan di sekitarnya sangat tinggi," katanya dalam diskusi di Gedung Bina Graha, Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (6/5/2019).
Faktor lainnya adalah Jakarta mengalami beban yang luar biasa. Masalah kemacetan, banjir hingga ketersediaan air bersih sulit mengharapkan Jakarta tetap menjadi kota yang berkelanjutan di masa depan.
"Kemacetan membebani kerugian ekonomi Rp 56 triliun per tahun. Ada juga kerugian akibat lingkungan hidup dan dari penggunaan BBM yang tinggi. Ditambah kualitas air yang 56% nya tercemar berat," ungkapnya.
Selain dari latar belakang kesenjangan antar wilayah, ada faktor sejarah yang menjadi acuan pemerintah dalam membahas wacana ini. Bambang menjelaskan, Jakarta menjadi ibu kota berawal dari masa penjajahan Belanda.
"Ada satu fakta sejarah bahwa Jakarta jadi ibu kota itu karena pusat pemerintahan kolonial Belanda. Awalnya dikembangkan VOC dan diteruskan pemerintah kolonial Belanda. Tentunya kita ingin punya ibu kota yang berasal dari pemikiran kita sendiri. Kita ingin punya ibu kota yang bersifat international class," kata Bambang.
Bambang menegaskan jika ibu kota baru Indonesia nantinya tidak didesain untuk menyaingi Jakarta. Bahkan, kata Bambang, ibu kota baru hanya didesain untuk menampung 1,5 juta penduduk.
"Yang ingin saya tekankan, ibu kota baru nanti tidak didesain untuk menyaingi Jakarta, tidak didesain untuk sebesar Jakarta. Bahkan dalam skenario kami hanya ada dua pilihan, untuk 1.5 juta (penduduk) atau hanya 900 ribu (penduduk)," ujar Bambang.
Menurut Bambang, ibu kota baru tidak harus menjadi kota besar. Di kota tersebut nantinya diharapkan dapat menumbuhkan kegiatan ekonomi.
"Jadi ibu kota baru ini tidak harus menjadi kota besar, terlebih adalah dia bisa berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan menimbulkan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Yang tadinya wilayah itu kosong sekarang ada wilayah yang mempunyai pusat pemerintahan," jelasnya.
Bambang menjelaskan Jakarta akan tetap menjadi pusat bisnis dan keuangan. Nantinya, lembaga-lembaga keuangan akan tetap berpusat di Jakarta, sementara pemerintahan akan berpindah ke lokasi ibu kota yang baru.
"Jadi BI, OJK, misalkan, itu akan tetap berlokasi di Jakarta. Karena itulah Jakarta sebagai pusat bisnis. Tetapi pemerintahan dalam eksekutif, legislatif, yudikatif, kedutaan juga akan berada di ibu kota baru," katanya.
Bambang mengatakan konsep pemindahan ibu kota baru Indonesia akan mirip seperti yang dilakukan oleh Brasil pada tahun 1960-an silam dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Pindahnya ibu kota ke wilayah tengah Indonesia diharapkan bisa membawa pemerataan pertumbuhan ekonomi ke wilayah lainnya.
"Kami melihat Brasilia tidak didesain untuk kota bisnis, hanya untuk pusat pemerintahan. Tapi paling tidak mereka jadi kota terbesar ketiga di Brasil. Artinya upaya untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi di wilayah pedalaman Amazon berhasil," katanya.
Dia menjelaskan, pemindahan ibu kota terkadang dianggap gagal jika kota tersebut sepi. Namun dia menegaskan, pemindahan ibu kota tak lantas harus menciptakan kota besar baru. Hal ini juga terjadi seperti pindahnya ibu kota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
"Jadi sekali lagi kalau ada yang melihat sekarang Brasilia kotanya sepi, ya memang dia (Brasilia) tidak didesain sebesar Rio. Ibu kota baru nanti juga tidak didesain untuk menyaingi Jakarta dan sebesar Jakarta," jelas dia.
"Bahkan mereka (ibu kota baru) ini nantinya nggak akan masuk ke 10 kota terbesar di Indonesia. Yang penting bisa berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan menumbuhkan kegiatan ekonomi baru. Pemerintahan itu punya nilai ekonomi yang tidak kecil," tambahnya.
Ada dua skenario perpindahan ibu kota yang disiapkan oleh pemerintah. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menyiapkan dua skenario tersebut dengan estimasi biaya yang berbeda.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menjelaskan kedua skenario ini dibedakan berdasarkan jumlah penduduk yang akan menempati ibu kota baru. Skenario pertama, estimasi biaya perpindahan ibu kotanya sekitar Rp 466 triliun atau US$ 32,9 miliar. Kemudian skenario kedua, estimasi biayanya sekitar Rp 323 triliun atau sekitar US$ 22,8 miliar.
"Skenario pertama, jumlah penduduk ibu kota baru nantinya sekitar 1,5 juta penduduk dengan jumlah lahan yang dibutuhkan sekitar 40.000 Ha. Skenario kedua itu jumlah penduduk sekitar 870.000 orang dengan luas lahan yang dibutuhkan 30.000 Ha," katanya.
Adapun kebutuhan infrastruktur yang dibutuhkan di antaranya pembangunan gedung legislatif, eksekutif dan yudikatif, gedung dan rumah ASN/Polri/TNI, fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasilitas pra sarana dan sarana penunjang serta kebutuhan pengadaan lahan.
Bambang mengatakan lokasi ibu kota baru nantinya harus berada di tengah Indonesia secara geografis. Kemudian pemerintah ingin meminimalkan pembebasan lahan dengan cara menggunakan lahan yang memang sudah dikuasai oleh negara.
"Dan minim bencana seperti gempa, tsunami, banjir, longsor dan tersedia sumber daya air yang cukup," katanya.
Selain itu, wilayah ibu kota yang baru juga harus dekat dengan kota yang sudah eksisting atau terbaru. Fasilitas infrastruktur dasar seperti bandara dan jalan juga diharapkan sudah ada sebelumnya.
"Dan lokasinya kalau bisa tidak jauh dari pantai karena Indonesia negara maritim," kata Bambang.
Wilayah ibu kota yang baru juga harus bisa menjaga potensi konflik sosial sekecil mungkin. Diharapkan penduduk yang ada di lokasi tersebut merupakan masyarakat yang sifatnya terbuka.