Pada 2002 silam, Indonesia menjual gas bumi dalam bentuk Liquefied Natural Gas (LNG/gas alam cair) berkontrak jangka panjang 25 tahun ke Fujian-Tiongkok. Kontrak ini menjadi persoalan, karena harga gas dinilai sangat murah, yakni hanya US$ 2,4 per mmbtu dan kenaikannya dipatok maksimal US$ 3,35 per mmbtu, seiring kenaikan harga minyak bumi.
Pengamat perminyakan dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies Kurtubi mengatakan, proyek LNG Tangguh, Papua sudah disusun sejak zaman Presiden BJ Habibie. Namun proyek tersebut belum selesai hingga BJ Habibie digantikan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"Zaman Presiden Gus Dur inilah mulai dicari pembeli, penunjukan penjual yakni BP (British Petroleum). Namun belum sempat dijual Gus Dur digantikan Presiden Megawati Soekarno Putri," kata Kurtubi kepada detikFinance, Selasa (1/7/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Formula penjualan, berdasarkan JCC (Japan Crude Cocktail) atau (harga acuan minyak Jepang), dan teknis sekali, di mana proyek ini disusun oleh Menteri ESDM (waktu itu namanya Menteri Pertambangan) Purnomo Yusgiantoro yang merupakan menteri sejak Zaman Gus Dur, Presidennya lengser Menteri ESDM-nya tetap," ungkap Kurtubi.
Ia memaparkan, sebagai menteri teknis yang menyusun proyek penjualan LNG Tangguh, Purnomo yang paling mengetahui mengapa harga gas Tangguh hanya US$ 2,4 per mmbtu, dan paling tinggi atau maksimal US$ 3,35 per mmbtu.
"Yang salah itu bukan harganya, oke harga pada saat itu memang US$ 2,4 per mmbtu, kalau dibandingkan sekarang sangat murah sekali, tapi pada saat itu harganya pas, yang salah itu formula harganya, kenapa dipatok maksimal berdasarkan harga minyak maksimal US$ 38 per barel, ini kesalahan besar," tegas Kurtubi.
"Sebagai orang perminyakan, pengalaman Indonesia menjual gas sebelum-sebelumnya, formula ini sangat salah, karena kalau tanpa dipatok harga minyak US$ 38 per barel yang artinya harga LNG Tangguh maksimal hanya US$ 3,35 per mmbtu, kalau tanpa itu saat ini harga ekspor gas Tangguh sudah mencapai US$ 18 per mmbtu bukan seperti sekarang sudah berjuang capek-capek hanya US$ 8 per mmbtu, masih rugi kita," ungkapnya lagi.
Kurtubi menegaskan kembali, memang sebagai Presiden saat menjual LNG Tangguh ke Fujian, secara politis memang Megawati yang harus bertanggung jawab sehingga sampai hari ini Indonesia masih mengekspor gas dengan harga yang sangat murah.
"Tapi orang tidak pernah mau mencari tahu siapa dibalik dari penjualan LNG Tangguh yang dijual ke Tiongkok, siapa? Ya menteri teknisnya saat itu, siapa lagi kalau bukan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, itu faktanya," tutup Kurtubi.
Sebelumnya, Gde Pradnyana saat menjabat Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas BP Migas (sekarang SKK Migas) pernah mengatakan, proyek LNG Tangguh di Bintuni, Papua tidak merugikan negara. Situasi saat lapangan Tangguh akan dikembangkan adalah buyer-market, yaitu situasi di mana pembeli yang menentukan harga yang ditawarkan oleh penjual LNG.
Indonesia, menurut Gde, telah mendapatkan harga yang terbaik untuk ekspor LNG ke provinsi Fujian, China karena kontrak tersebut didapat tanpa melalui tender. Sebelum mendapatkan kontrak pasokan LNG ke Fujian, Indonesia kalah dalam tender pasokan LNG ke Guangdong dan Taiwan karena harga yang ditawarkan terlalu tinggi saat itu.
"Hitungan pengembangan lapangan migas pada dasarnya adalah hitungan investasi yang ditanam untuk pengembangan suatu lapangan migas. Saat itu harga jual LNG tentu lebih murah dari harga saat ini, karena biaya investasi seperti biaya pembangunan kilang, pengembangan sumur gas, dan lain-lain juga jauh lebih murah dari harga saat ini. Jika dihitung dengan nilai proyek pembangunan kilang LNG saat ini maka harga pembangunan kilang LNG Tangguh Train-1 dan Train -2 adalah kilang termurah di dunia," ujarnya.
Selain itu, ternyata harga rata-rata ekspor gas yang selama ini dianggap murah ternyata masih jauh lebih mahal dari harga gas domestik. Karena itu, lanjutnya, Indonesia butuh perbaikan harga gas domestik untuk menjamin kesinambungan investasi dan mendukung ketersediaan energi domestik.
"Jika disparitas harga terlalu tinggi maka selain penerimaan negara jauh lebih rendah dari seharusnya, juga membuat investor enggan mengembangkan lapangan karena mengatahui investasinya pasti tidak akan kembali. Kalaupun investor akhirnya mau mengembangkan lapangan maka investor pasti meminta agar diizinkan untuk ekspor karena harga jual gas yang lebih baik. Atau minta bisa juga investor meminta insentif untuk menutupi keekonomiannya," jelas Gde.
Namun mulai hari ini, 1 Juli 2014, pemerintah telah berhasil melakukan renegosiasi kontrak gas tersebut, dengan menaikkan harganya. Untuk lengkapnya cek di sini.
(rrd/dnl)











































