Hal ini disampaikan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa dalam siaran pers, Minggu (24/1/2010). Hatta menyatakan hal ini saat meresmikan kluster industri berbasis pertanian dan oleochemical di Kuala Enok dan Dumai di Kawasan Industri Dumai (KID), Pelintung, Dumai, Riau.
"Ekspor sawit kita yang tadinya nihil namun pada 2004 nilai ekspor kita itu tercatat US$ 1,7 miliar dan potensinya terus tumbuh dengan nilai perdagangan saat ini US$ 34 miliar," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun masih terdapat 228 tarif pos yang masih menjadi perhatian pemerintah sehingga harus dilakukan renegosiasi untuk memodifikasi sejumlah ketentuan.
Satu yang menjadi perhatian pemerintah adalah perlindungan terhadap industri baja dalam negeri, mengingat kekhawatiran industri baja RI akan kalah bersaing dengan baja China.
"Sebab itu pemerintah akan melakukan pembicaraan ulang seperti besi baja, kemudian tekstil agar kebijakan itu diberlakukan sesuai dengan waktu normal yang ditentukan sebelumnya," kata dia.
Rencana pemberlakukan ACFTA telah dimulai sejak tahun 1992 yang kemudian dimatangkan lagi pada tahun 1994 di Bogor atas inisiatif KTT APEC terkait liberalisasi perdagangan.
Lalu pada tahun 2003 melalui pertemuan 10 negara ASEAN yang menghasilkan perjanjian Bali Concord II yang menyepakati integrasi pada tiga pilar yakni bidang ekonomi, budaya dan keamanan.
Pemberlakukan ACFTA dipercepat menjadi tahun 2010 dari rencana normal 2015 untuk mencegah terjadinya penyeludupan, antidumping, perdagangan yang tidak jujur dan lain sebagainya.
Sejak tahun 2004 hingga awal 2010 sedikitnya telah dihasilkan sekitar 7.000 pos tarif yang termasuk dalam kesepakatan ACFTA.
"Dari 7.000 pos tarif itu hanya 228 pos tarif yang menurut kami perlu ditinjau kembali pemberlakuannya," kata Hatta menegaskan.
Â
Â
(dnl/dro)