Sekjen Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia (Giatpi) Totok Wibowo mengatakan ada perbedaan persepsi antara pemerintah dengan pelaku usaha dalam melihat perspektif sampah. Bagi industri selama ini yang menghasilkan sampah adalah masyarakat bukan produsen, sementara pemerintah seharusnya berkewajiban mengambil alih fungsi pengelolaan sampah yang dihasilkan masyarakat.
Totok menuturkan landasan pemerintah selama ini berpayung pada UU No 18 tahun 2008 menenai pengelolaan sampah. Rencananya kewajiban mengolah kembali sampah oleh produsen akan tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal sampah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara disisi lain pada pasal 6 poin D dalam undang-undang yang sama bahwa pemerintah punya kewajiban mengelola sampah. Dalam rencana RPP soal sampah pada pasal 8,9,10 produsen berperan dalam pembatasan timbunan sampah dan didorong menyusun rencana terkait pengolahan sampah.
Ia menjelaskan faktanya saat ini plastik yang beredar di masyarakat ada yang bersifat ekonomis alias gampang di daur ulang dengan dikumpulkan melalui masyarakat seperti botol-botol plastik dan lain-lain. Sementara ada juga jenis plastik yang tak ekonomis seperti bungkus permen, bungkus shampoo yang sulit kembali ditarik dan diolah.
"Kalau tidak laksanakan kita akan kena sanksi. Harus membuat unit pengolahan atau menunjuk pihak ketiga tapi ini berarti akan mematikan usaha lain," katanya.
Bahkan Totok mencurigai langkah pemerintah ini sengaja menggiring agar industri plastik kena cukai. Totok pun mengaku tak mengerti bagaimana teknis pengenaannya nanti.
"Arahnya pemerintah mau mengenakan cukai. Kalau tak bisa maka kena cukai salah satu poin dari RPP itu," katanya.
Selama ini anggotanya yang terdiri dari 40 pabrik plastik memproduksi karung plastik, terpal plastik, jumbo bag, waring, net jaring nelayan, alas jalan, plastik semen dan lain-lain. Kapasitas produksi mencapai 300.000 ton per tahun dengan kenaikan permintaan pasar per tahun 5-7% untuk ekspor dan dalam negeri.
(hen/ang)