Demikian disampaikan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Evita Herawati Legowo ketika ditemui di kantor Bada Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Jakarta, Senin malam (16/8/2011).
"Itu nanti FS dulu, itu full dari Jepang. Untuk FEED-nya (Front End Engineering Design) nanti pemerintah yang teruskan. Untuk proyeknya dia ajak investor dari dalam dan luar negeri," kata Evita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ini akan dilakukan studi terlebih dahulu apakah Sumatera Selatan atau di Jambi. Studi sudah mereka mulai," lanjutnya.
Evita mengatakan, pihak pemerintah meminta untuk memulainya pada September 2011 nanti dengan diawali dari perjanjian secara G to G (Government to Government).
Namun ketika ditanya lebih lanjut terkait biaya investai untuk studi kelayakan yang bakal digelontorkan oleh pihak Jepang, Evita tidak mau mengatakannya. "Saya lupa angkanya. Kalau studi, pokoknya gak begitu gede," terangnya.
"Untuk harga gasnya, itu juga tidak mahal nanti. Kalau dibandingkan dengan gas biasa antara US$ 8 - US$ 9," tambah Evita.
Ditambahkan olehnya, sudah ada dua pihak yang berminat membeli gas olahan dari batubara tersebut, yakni Chevron dan PLN.
"Dengan harga US$ 9 dolar, itu bagi PLN dan Chevron biasa. Kalau Chevron kan siap beli selama kualitasnya baik. Kalau PLN sih bisa-bisa saja," tambahnya.
Seperti diketahui, pemerintah berencana membangun industri gasifikasi batubara pada 2015 mendatang. Rencananya, gas tersebut digunakan untuk memasok Chevron Pasific Indonesia (CPI). Sehingga gas yang awal mulanya dipasok ke Chevron dapat dialihkan ke PLN yang memang membutuhkan banyak pasokan gas bagi pembangkit listrik miliknya.
Pembangunan industri gasifikasi batubara tersebut akan dibangun di lokasi yang tidak jauh dengan tambang batubara di wilayah Sumatera. Sejauh ini pemerintah masih memilih dua tempat yang cocok. Apakah itu di Jambi atau Sumatera Selatan.
(nrs/qom)











































