Mandeknya jenis reksa dana baru, disinyalir karena tidak ada keberpihakan perpajakan di Indonesia. Hingga pelaku industri reksa dana khawatir produk jualannya tidak dapat berkembang. Bukan karena minimnya minat, melainkan kebijakan.
"Pajak itu instrumen pajaknya belum jelas. Nanti tanpa diduga akan ada double, triple. Seperti yang sudah-sudah," kata Abipriyadi di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), SCBD, Jakarta, Kamis (29/9/2011).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Indonesia itu mindset-nya masih deposito, bukan investasi. Dan menginginkan keamanan. Maka dari itu reksa dana terproteksi sangat laku, meski imbal hasilnya minim. Beda dengan reksa dana saham yang (imbal hasil) tinggi, namun investasinya bersifat jangka panjang," tambahnya.
Sebagai contoh, reksa dana berbasis properti masih sepi peminat. Dan kembali karena belum ada kepastian pajak dari pemerintah. "Reksa dana realestat, seperti yang ada di AS Realestate Investment Trust. Masi ada hambatan disitu (pajak)," tegas Abirpiyadi.
"Indonesia miskin priority product, karena pajak tidak berkembang. Seperti EBA. Kita juga belum memiliki Index Futures, dan Instrument Option," imbuhnya.
(wep/ang)











































