"Di Eropa kan anda tahu semua masih sangat uncertain (ketidakpastian). Murni faktornya seperti itu di mana risiko di Eropa sangat tidak mendukung karena tekanan-tekanan itu yang membuat rupiah melemah," ungkap Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Perry Warjiyo di Gedung BI, MH Thamrin, Jakarta, Jumat (13/1/2012).
"Makanya uncertainty yang ada terutama di triwulan I-2012, dan di triwulan II-2012 sudah mulai mereda dengan tekanan tak seberat triwulan I. Karena pasar meyakini kondisi Eropa membaik," imbuh Perry.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih jauh Perry mengatakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini masih bergantung dari seberapa cepatnya resolusi di Eropa. Selama Desember 2011, nilai tukar rupiah memang kembali mengalami tekanan depresiasi. Hal ini dipicu oleh tingginya permintaan valas di akhir tahun untuk pembiayaan kegiatan impor dan sentimen risiko akibat imbas ketidakpastian ekonomi global.
"Belum tuntasnya penyelesaian krisis utang dan fiskal kawasan Eropa serta menguatnya indikasi pelemahan ekonomi dunia memengaruhi minat investasi non residen," tambahnya.
Untuk keseluruhan di 2011, rata-rata nilai tukar rupiah mengalami apresiasi meski penguatan lebih lanjut tertahan oleh tekanan depresiatif pada semester kedua. Tertahannya tren penguatan rupiah tersebut terkait dengan kebutuhan valas di pasar domestik dan imbas meningkatnya faktor risiko global yang diakumulasi oleh berlarutnya krisis utang Eropa dan perekonomian AS yang masih lemah.
Secara rata-rata, di 2011 rupiah menguat sebesar 3,56% (yoy) ke level Rp 8.768 per dolar AS dari Rp 9.080 per dolar AS pada tahun 2010. Namun secara point to point, rupiah melemah 0,64% (yoy) dan ditutup pada level Rp 9.068 per dolar AS dengan volatilitas yang meningkat (0,38%).
(dru/dnl)











































