"Itu praktik yang umum di banyak negara, yaitu mematok kenaikan gaji dan upah sesuai tingkat inflasi," ujar Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo kepada detikFinance, Kamis (17/5/2012).
Menurut Dradjad, dengan kemampuan pemerintah menjaga inflasi maka hal ini juga bisa menekan belanja pegawai dalam APBN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dradjad menambahkan, secara makro penerapan sistem tersebut cenderung baik. Pasalnya, sistem itu memberikan sinyal hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja di mana kenaikan upah semakin mendekati inflasi yang secara teori, dapat mengurangi konflik hubungan industrial.
"Konflik hubungan industrial itu konflik antara perusahaan versus pekerja. Jika inflasi disepakati sebagai dasar kenaikan upah, maka kedua pihak punya benchmark yang sama. Sehingga tidak perlu ribut-ribut tentang Upah Minimum Regional (UMR) setiap tahun," tegasnya.
Memang perlu diakui, lanjut Dradjad, ada selisih teknis karena yang dipakai biasanya inflasi tahun lalu, sementara inflasi tahun berjalan belum diketahui.
"Jadi akan ada selisih sedikit yang bisa menguntungkan atau merugikan bagi PNS, tapi itu bisa diabaikan," jelasnya.
Menurut Dradjad, yang perlu dijaga adalah daya beli riil dari pegawai supaya tidak turun. Namun, hal ini dapat diabaikan karena bagi PNS, daya beli riil mereka tidak naik kecuali produktivitas mereka naik, terutama dengan adanya sistem pemberian tunjangan berupa remunerasi.
"Dari sisi konsumsi rumah tangga, saya rasa tidak akan mengurangi konsumsi agregat. Karena, konsumsi kita sekarang banyak ditopang penghasilan kelas menengah yang lebih bervariasi, bukan gaji PNS saja. Hanya praktik ini tidak mengurangi kesenjangan pendapatan dengan kelompok miskin, yang jumlahnya saya yakin lebih besar dari statistik BPS," tandasnya.
(nia/dnl)