Sampai sekarang, kawasan tekstil di Lima yang bernama Gamarra ini, mempunyai luas 20 blok, dan diisi oleh 25.000 toko penjahit.
Namun sejak adanya perjanjian perdagangan bebas antara Peru dan China pada 2010, dan juga perdagangan bebas China dengan Kolombia, Gamarra tak lagi ramai bisnisnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cayetano menyewa tempat seluas 3 meter persegi di Gamarra dengan biaya US$ 300 per bulan. Namun tahun ini, bisnis Cayetano lesu. Penjahit wanita lain, yaitu Astrid Iparraguirre juga mengalami kondisi yang sama.
"Tak banyak yang bisa dilakukan saat ini, karena banyaknya pakaian impor," ujar Iparraguirre yang telah bekerja di Gamarra selama 5 tahun.
Tapi, Gamarra belum kehilangan seluruh pelanggannya, masih cukup banyak pakaian yang bisa dijual di Peru dan juga wilayah benua Amerika, termasuk Amerika Serikat (AS).
Contohnya, jutaan kaos, telah dipesan oleh pedagang di Brasil untuk Piala Dunia 2014.
Namun, sejak Juli lalu, penjualan tekstil di Gamarra turun 50% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Para penjahit di sini telah kehilangan 1/3 dari pasar karena adanya tekstil impor asal China.
Sebenarnya, banyak produk berkualitas yang bisa ditemukan di Gamarra, hingga gaun pengantin pun bisa dipesan di sini. Namun, sejak tekstil murah asal China masuk, bisnis jatuh.
"Kami kehilangan 30 ribu pekerjaan, ini karena barang impor dari China," kata Alva seorang pedagang lokal.
Alva mengatakan, produk China lebih murah 40% dari produk lokal. "Sulit untuk menyainginya," ujar Alva.
Sejak 2005-2013, barang impor asal China telah menggantikan 237 juta produk asal Gamarra, ini menurut data Bea Cukai Peru. Mantan penjahit di Gamarra, Carlos Puris mengatakan, kesalahan besar pemerintahnya meneken perjanjian perdagangan bebas dengan China.
(dnl/ang)