Menteri Basuki Beberkan Rencana Pembangunan 6.115 Km Jalan Tol Sampai 2025

Wawancara Khusus Menteri PU Pera

Menteri Basuki Beberkan Rencana Pembangunan 6.115 Km Jalan Tol Sampai 2025

- detikFinance
Senin, 01 Des 2014 10:00 WIB
Basuki Hadimuljono, Menteri PU Pera (Foto: CNN Indonesia)
Jakarta - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya rencana pembangunan jalan tol sepanjang 1.562 km di seluruh Indonesia sampai 2019. Tentu bukan hal yang mudah untuk diwujudkan.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU Pera) ditugaskan untuk mencapai target ini. Basuki Hadimuljono, Menteri PU Pera, menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur, termasuk jalan tol, masih menjadi tantangan tersendiri di Indonesia.

Saat berbincang dengan detikFinance di kantornya akhir pekan lalu, Basuki memaparkan soal program pembangunan jalan tol yang sudah disusun pemerintahan Jokowi. Berikut wawancaranya:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana rencana pembangunan jalan tol di pemerintahan Pak Jokowi?
Untuk jalan tol, saya sudah presentasikan ke Pak Presiden waktu mendampingi beliau menyeberang dari Merak ke Bakauheni. Jadi saya presentasi di atas kapal RORO. Saya presentasi soal kebutuhan jalan tol di Indonesia sepanjang 6.115 km.

Saya sampaikan, masterplan sampai 2025 Indonesia harus punya jaringan jalan tol sepanjang 6.115 km. Kebutuhan jalan tolnya meliputi baik yang ada di Pulau Jawa maupun di luar Jawa. Dengan total investasi mencapai Rp 713 triliun.

Saya sampaikan kebutuhan tol tersebut untuk jangka panjang, sampai 2025 di seluruh Indonesia. Di Sumatera sepanjang 2.865 km, Jawa 2.815 km, Kalimantan 99 km, Bali 229 km, serta Sulawesi. Selain itu, adalagi Tol Trans Jawa meliputi Merak-Banyuwangi sepanjang 1.187, Tol Jabodetabek 530 km, serta Non Trans Jawa dan Non Jabodetabek sepanjang 1.098 km.

Bagaimana tahapannya?
Kita bicara yang sudah beroperasi dulu sampai 2014. Ada Jaringan Jalan Tol Pulau Sumatera panjangnya 43 km. Kemudian Jaringan Jalan Tol Pulau Jawa saat ini yang beroperasi mencapai 749 km, ini yang terpanjang. Itu sudah termasuk Trans Jawa 363 km, Jabodetabek 209 km, dan non Trans Jawa 177 km.

Lalu jaringan Jalan Tol Pulau Bali, panjang jalan tol yang beroperasi baru mencapai 10 km. Di luar pulau Jawa Masih ada juga Jaringan Jalan Tol Kalimantan, panjang jalan tol yang beroperasi masih 0%. Kemudian Pulau Sulawesi, Jalan Tol yang beroperasi 18 km. Totalnya yang sudah beroperasi sekitar 820 km.

Tahap berikutnya untuk pembangunan sampai 2019. Termasuk yang sudah berjalan dan akan berjalan sampai 2019 ada 1.562 km. Di Sumatera, jalan tol yang kontruksi mencapai 346 km. Di Jawa sepanjang 1.078 km, terdiri dari Tol Trans Jawa, Jabodetabek, dan Non Trans Jawa. Kalimantan yang sedang kontruksi memiliki panjang 99 km. Sulawesi sampai 2019 ada 39 km. Di Bali sampai 2019 tidak ada pembangunan jalan tol.

Baru setelah itu pembangunan untuk sampai 2025. Kalau kami tidak sampai 2025, ini bisa jadi rekomendasi untuk pemerintah selanjutnya. Tapi ini gambaran kebutuhan jalan tol kita di masa depan.

Bagaimana dengan pembiayaannya?
Kita akan berdayakan segala daya dan kemampuan untuk memenuhi target-target itu. Termasuk melibatkan semua BUMN maupun swasta yang disokong pemerintah. BUMN-BUMN Karya akan kita kerahkan. Saya berkoordinasi dengan Bu Rini (Rini Soemarno, Menteri BUMN) untuk memberikan semacam insentif. Ini baru pembicaraan lisan tapi nanti bisa ditanyakan kelanjutannya ke Bu Rini. Ada usulan kalau BUMN yang mau fokus bangun infrastruktur jalan tol akan dibebaskan setor dividen ke negara. Jadi nanti mereka nggak perlu bayar dividen, biar dana dividennya bisa untuk tambah modal kerja untuk pembangunan.

Apa tantangan pembangunan jalan tol ke depan?
Tol ini memang kebanyakan terkendala di pembebasan lahan. Tapi di pembebasan lahan sekarang kita akan menerapkan Undang-undang No 2/2012. Jangan ada lagi jalan tol terbengkalai sampai puluhan tahun. Saya juga sedang mengkaji untuk TPT (Tim Pembebasan Tanah), biaya operasionalnya juga akan ditanggung pemerintah. Sekarang kan banyak yang terhambat pembebasan lahannya karena investor nggak bisa membiayai operasional TPT untuk membebaskan. Saya kaji nanti apakah memungkinkan biaya operasional ini bisa ditanggung dana pemerintah, dan bagaimana skemanya.

Apa benar ada mafia tanah yang membuat pembebasan lahan menjadi sulit?
Kalau tanah ini mungkin bukan mafia, tapi makelar-makelar yang bermain di situ sehingga harga melambung tinggi. Di sini umumnya harga jauh melampaui yang telah dinilai oleh tim appraisal. Negara nggak mungkin membayarkan itu, karena akan bermasalah nanti secara hukum walaupun dana ada. Jadi yang kita lakukan nanti adalah pendekatan dengan Undang-undang No 2/2012 tadi. Jadi kalau dalam pembebasan lahan sudah mayoritas masyarakatnya mau, tapi ada 1-2 orang yang tidak mau, bisa kita upayakan pakai cara konsinyasi.

Masyarakat nggak akan dirugikan karena penilaian harga sudah memperhitungkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) baik lahan maupun bangunan yang terkena dampak. Negara juga punya dasar hukum yang kuat karena penilaian harga sudah berdasarkan penilaian tim independen. Semangatnya adalah jangan sampai kepentingan umum yang lebih besar terhambat hanya gara-gara kepentingan segelintir orang yang cari untung sendiri.

Kemudian untuk kontraktor. Kontraktor yang kita sekarang sebagai BUJT (Badan Usaha Jalan Tol), itu nggak ada mafia. Hanya mungkin setiap BUJT kemampuan finansialnya berbeda-beda. Ada yang loyal, makanya tim TPT-nya bekerja cepat dan pembebasan lahannya lebih cepat juga. Ada juga yang keuangannya terbatas, makanya dia agak lebih ketat untuk mengeluarkan biaya-biaya.

Untuk yang ini makanya tadi ada solusi bagaimana kalau pembebasan lahannya diambil alih oleh pemerintah, kemudian biaya operasional TPT-nya juga ditanggung pemerintah. Konsekuensinya nanti kalau masih nggak dibangun juga, kita tanya apa dia mampu. Kita beri waktu, sampai satu tahun misalnya. Bila tidak ada pembangunan fisik juga, akan kita ganti BUJT-nya. Kita serahkan kepada yang lebih mampu.

(dna/hds)

Hide Ads