Kendati demikian, menurut Bachrul Chairi, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan, harga timah malah lebih banyak ditentukan negara lain.
"Kita produsen timah terbesar kedua dunia, 26% produksi timah dunia. Pangsa pasar buat ekspornya malah 70% dunia kita kuasai, tapi yang tentukan harga negara lain yang tidak punya barangnya," kata Bachrul di Indonesia Tin Conference and Exhibition, Jakarta, Kamis (18/8/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan kita punya acuan bursa sendiri sebagai produsen timah, kita bukan lagi price taker saja, tapi sudah mulai jadi price maker," jelas Bachrul.
Ini terlihat dari transaksi ICDX yang saat awal berdiri tahun 2013 sudah memperdagangkan 18.000 ton ingot timah atau alumina. Kemudian, di 2014 naik menjadi 54.000 ton, 2015 naik lagi menjadi 70.000 ton, dan terakhir periode Januari-Juli 2016 sudah mencapai 32.600 ton.
"Sekarang ICDX mulai jadi rujukan, memang kita baru 3 tahun, bandingkan dengan LME yang sudah ratusan tahun. Saat ini sudah ada 63 perusahaan terdaftar di ICDX, dengan 34 penjual dan 29 pembeli yang bertransaksi tawar menawar di bursa ICDX," ujar Bachrul.
Di kesempatan yang sama, CEO ICDX, Megain Widjaja mengatakan, meski belum dominan dalam penentuan harga timah, setidaknya keberadaan bursa komoditas timah membuat harga timah yang diproduksi di dalam negeri tak lagi fluktuatif karena mengikuti patokan pasar bursa luar.
"Dulu harga timah nggak masuk akal, bagaimana bisa kita suplai 70% timah tapi tak punya andil harga. Sebelum ada ICDX, volatilitas harga 25-30%, sangat tinggi bukan? Sekarang bisa lebih stabil di kisaran 15% volatilitasnya," terang Megain. (hns/hns)