Produktivitas tidak diukur berdasarkan lamanya waktu kerja. Di sejumlah negara maju, seperti Norwegia, Swiss, atau Swedia, waktu kerja tidak lebih dari 40 jam dalam sepekan. Kelebihan waktu kerja justru dikhawatirkan menimbulkan kelelahan dan berisiko terjadi kesalahan.
Di Inggris, selama periode 1990-2016 terjadi kenaikan PDB per kapita rata-rata 1,4% per tahun sementara jam kerja berkurang rata-rata 0,3% per tahun.
"Kami percaya ini didorong oleh peningkatan produktivitas," kata Paul Yong et.al. analis DBS Group Research dalam laporan berjudul 'Live More, Work Less' yang dipublikasikan Juli 2018.
Global Competitive Index menyebutkan negara-negara yang paling adaptif terhadap teknologi yang memiliki produktivitas tinggi. Namun tetap membutuhkan kerja sama antara karyawan, proses bisnis, hingga para pembuat keputusan.
Selain teknologi, waktu kerja yang lebih lentur dan pendek dapat meningkatkan produktivitas. Sebaliknya jam kerja yang panjang malah akan menganggu kesehatan dan berpotensi meningkatkan stres yang mempengaruhi kinerja.
Secara umum, jam kerja di Asia lebih lama dibandingkan dengan negara-negara lain yang pendapatannya relatif sama. Seiring perkembangan teknologi, mungkin saja Asia akan menerapkan jam kerja yang pendek. Namun ada sejumlah tantangan yang menyulitkan hal ini terwujud.
Asia masih kental dengan budaya kolektif dan hierarki. Ketika karyawan senior belum pulang, biasanya junior enggan meninggalkan kantor meski jam kerja telah usai. Selain faktor budaya, ada soal ekonomi karena kerja yang fleksibel artinya pengeluaran kantor untuk membayar cuti meningkat. Klik go.dbs.com/asianinsights untuk hasil riset lainnya. (adv/adv)