Kebijakan Bulog yang lebih memprioritaskan penyerapan beras dibandingkan gabah telah memicu polemik di kalangan petani. Banyak pihak menilai langkah ini tidak berpihak pada petani, melainkan justru menguntungkan tengkulak dan penggilingan padi yang sering menjadi perantara dalam proses penjualan.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Yadi Sofyan Noor pun menyampaikan kebijakan ini berpotensi merugikan petani secara langsung.
"Dengan membeli beras, bukan gabah, Bulog melewatkan kesempatan untuk membantu petani mendapatkan harga layak. Petani terpaksa menjual gabah mereka kepada tengkulak dengan harga murah, sementara nilai tambah justru dinikmati oleh pihak lain," ujar Yadi dalam keterangan tertulis, Senin (20/1/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Yadi menjelaskan masalah ini semakin krusial, mengingat harga gabah yang dihasilkan petani menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi pasar, terutama jika tengkulak memainkan peran dominan dalam menentukan harga.
Sebaliknya, dengan menyerap gabah langsung dari petani, Bulog dapat menstabilkan harga di tingkat petani dan memastikan mereka mendapatkan keuntungan yang adil.
Yadi mengkhawatirkan langkah Bulog yang menyerap beras akan memperlemah semangat petani dalam berproduksi.
"Jika petani merasa kerja keras mereka tidak dihargai, produktivitas sektor pertanian bisa terancam. Bagaimana kita bisa mencapai swasembada pangan jika petani terus dirugikan?" tambah Yadi.
Menurut Yadi, menyerap gabah memiliki banyak keuntungan strategis. Sebab, gabah lebih mudah disimpan dalam jangka waktu panjang, sementara kualitasnya dapat diolah menjadi beras dengan standar yang lebih baik. Hal ini juga memberi Bulog kendali penuh atas proses pengolahan dan distribusi beras.
Yadi mengungkapkan Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan agar Bulog menyerap gabah di seluruh Indonesia tanpa terkecuali. Hal ini sebagai bagian dari upaya mempercepat swasembada pangan.
Ia menegaskan kebijakan yang lebih berpihak pada petani bukan hanya tentang stabilitas harga, tetapi juga tentang keberlanjutan ketahanan pangan nasional.
"Pertanyaannya, Bulog sebenarnya membela siapa? Kebijakan ini harus dikoreksi untuk memastikan petani sebagai ujung tombak ketahanan pangan tetap mendapatkan perlindungan dan dukungan yang mereka butuhkan," papar Yadi.
Yadi mengimbau agar langkah untuk memprioritaskan penyerapan gabah harus segera diambil. Dengan begitu, petani tidak terus menjadi pihak yang dirugikan dalam rantai panjang distribusi hasil panen. Pemerintah, khususnya Bulog, pun harus membuktikan keberpihakannya kepada petani demi tercapainya kedaulatan pangan Indonesia.
Sementara itu Sekretaris Perusahaan Perum Bulog, Arwakhudin Widiarso mengatakan perum Bulog telah menargetkan penyerapan beras dari petani sebanyak 1,4 juta ton pada puncak panen raya di bulan Maret-April mendatang. Sesuai penugasan Badan Pangan Nasional/NFA, Bulog diminta menyerap 2 juta ton beras petani.
"Sesuai rencana kerja dan anggaran perusahaan, kami membuat perhitungan pengadaan dalam 2 juta ton dengan harapan 3 juta ton penyerap beras," jelasnya.
Di sisi lain, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menargetkan Bulog untuk menyerap beras petani sebanyak 2,5 juta sampai 3 juta ton. Adapun target ini sejalan dengan penetapan harga terbaru pembelian HPP untuk GKP di tingkat petani.
"Target Bulog saat ini 2,5 sampai 3 juta ton baik dalam bentuk gkp yang setara beras 600.000 ton, gkg yang setara beras 900.000 ton kemudian 1,5 juta ton dalam bentuk beras di seluruh Indonesia," pungkasnya.
(sls/KEMENTAN)