Sektor ekonomi kreatif dalam 11 tahun terakhir telah menyumbang dua kali lipat ke pertumbuhan domestik bruto (PDB) dalam negeri. Jumlahnya mencapai lebih dari Rp 1.500 triliun dengan kenaikan jumlah tenaga kerja sebesar 89%, dari 14 juta orang pada 2013 menjadi 26,5 juta orang pada akhir 2024.
Selain itu, nilai ekspor produk kreatif melonjak sekitar 67% dari US$ 15 miliar pada 2013 menjadi lebih dari US$ 25 miliar pada akhir 2024.
Salah satu produk dari ekonomi kreatif yang kini telah tembus pasar global adalah adalah tenun ulos. Ulos merupakan kain khas suku Batak yang mempunyai fungsi dan arti yang penting. Kain ini biasanya dikenakan di berbagai upacara adat seperti kelahiran, pernikahan, kematian, dan ritual lainnya. Motif, proses produksi, hingga unsur budayanya, menjadi daya tarik bagi konsumen di luar negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam mendukung perekonomian dalam negeri, dan mengembangkan sektor UMKM, Bank Indonesia turut membantu perajin kain ulos di Sumatera Utara untuk mengembangkan usahanya. Bank Indonesia menempatkan pemberdayaan UMKM sebagai bagian dari strategi besar pembangunan ekonomi-keuangan yang inklusif dan hijau.
Seperti pada produsen kain ulos, Dame Ulos, di Tarutung, Tapanuli Utara. Usaha kriya yang kini sudah merambah pasar global ini dirintis sejak 2014 dengan 10 orang penenun. Dari modal awal sekitar Rp 5 juta, kini mereka bisa meraup penghasilan Rp 19 miliar dalam setahun.
"Kami melihat bahwa potensi pengembangan ekonomi di wilayah kerja kami, terutama dari UMKM, itu masih sangat luas. Kenapa? Karena kita melihat bahwa dari 16 kabupaten-kota (wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sibolga) itu baru menyumbang sekitar 16% dari perekonomian Sumatera Utara," ujar Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sibolga, Riza Putera, kepada media, belum lama ini.
"Salah satu upaya kita untuk mendorong perekonomian itu adalah melalui pengembangan UMKM kita. Salah satunya adalah melalui UMKM Dame Ulos ini, tenun Tapanuli Utara. Kita melakukan pengembangan, antara lain peningkatan mutu. Kemudian kita juga membantu pemasaran, kemudian kita juga mengembangkan ke produk-produk turunannya," imbuhnya.
Riza mengungkapkan Bank Indonesia hadir untuk membantu perekonomian daerah melalui pengembangan UMKM, pariwisata, dan komoditas unggulan, serta mendorong UMKM ke digital, termasuk juga digitalisasi perekonomian. Hingga kini ada lebih dari 50 UMKM yang dibina oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sibolga. Adapun dukungan yang diberikan meliputi infrastruktur, peralatan, pelatihan peningkatan mutu, pemasaran secara digital, hingga digitalisasi pembayaran melalui QRIS.
"Kita onboardingUMKM-UMKM kita untuk kita ikutkan pemasaran melalui digital itu di platform-platformyang ada. Termasuk juga kita melatih orangnya bagaimana cara melakukan pemasaran secara digital, kenal dengan apa itu digitalisasi, kemudian juga risiko-risiko dan sebagainya. Sehingga mereka secara independen bisa masuk ke dalam platform-platform digital dan masuk kepada e-commerce," jelasnya.
Pelestarian Budaya dan Pariwisata
Pendiri Dame Ulos, Renny Katrina Manurung mengungkapkan awalnya ia merasa prihatin atas pekerjaan seorang penenun yang dipandang sebelah mata. Menurutnya, taraf kesejahteraan para perajin ulos masih tergolong rendah. Selain itu, pelestarian motif ulos di daerahnya juga kian tergerus. Maka, setelah lulus kuliah jurusan akuntansi, ia memutuskan untuk menggeluti usaha kain ulos.
"Ada ratusan motif lama yang sudah hampir punah. Kemudian saya bersama 200 orang penenun concernuntuk mengembalikan motif-motif lama itu. Bukan cuma motifnya, tapi cara menenunnya, cara menenunnya dan juga cara pewarnaannya, seperti itu. Dan kemudian kita lihat, itu ternyata susah dibuat. Jadi tujuan kita bagaimana kita menghargai penenunnya juga lewat jasanya, dan juga ingin mengenalkan semua dunia, ini loh yang sebenarnya ulos itu," ungkap Renny.
dok. Moch Prima Fauzi/detikcom |
Setelah merintis usaha sejak 2014, pada 2019 Dame Ulos resmi menjadi binaan dari Perwakilan Bank Indonesia Sibolga dan mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam pameran, berkolaborasi bersama beberapa desainer, difasilitasi dalam business matching, mendapat pelatihan pemasaran digital, mendapat akses transaksi digital, hingga mendapat bantuan berupa pendirian galeri kain.
"Setelah adanya fasilitas dari BI (Bank Indonesia) ini perubahannya yang pertama, sejak ada galeri, kenyamanan semua customerbisa enak di sini. Ada pertumbuhan omzet pastinya, kita bisa live lebih banyak. Kemudian saya bisa meng-hire banyak orang ke sini. Kemudian menjadi salah satu pusat wisata jadinya. Ketika orang terbang sampai ke bendera bawa oleh-oleh jadinya ke sini," terang Renny.
Berawal dari 10 orang penenun, Dame Ulos kini telah mempekerjakan 223 masyarakat di sekitarnya dengan produksi 1.400 pieces kain ulos dalam sebulan. Selain di galeri, penjualan kain ulos ini telah merambah digital dengan memanfaatkan sosial media, e-commerce, hingga live shoppingdengan penjualan mencapai 1.200 pieces dalam sebulan. Adapun ekspor kain Dame Ulos telah mencapai pasar Singapura, Malaysia, Australia, Dubai, hingga Amerika Serikat dengan porsi penjualan sekitar 15-20%.
Renny mengungkapkan revitalisasi menjadi salah satu kunci keunggulan Dame Ulos dari ulos lainnya. Ia berusaha menghidupkan kembali motif-motif yang lama punah dan dianggap kuno.
"Awalnya pasarnya nggak dilirik, atau mungkin ini kan barang kuno ya, atau mungkin sesuatu yang sudah usang, siapa lagi orang yang suka yang soft, yang doff, ternyata lewat itu, orang (berfikir) oke ini sebenarnya yang real ulos yang punya filosofi, yang warnanya basic-nya itu orang batak, yang selama ini nggak pernah diketahui lagi," jelas Renny.
Selain itu, keunikan lainnya terletak pada pewarnaan kainnya. Renny yang sudah belajar menenun sejak SD, menggunakan bahan-bahan alami seperti dari kulit kayu, kunyit, tanaman, dan lumpur tanpa pestisida. Prosesnya dengan dilakukan perendaman dan pencelupan agar mendapatkan warna-warna seperti merah, kuning, biru, abu-abu, merah muda, merah maroon, hingga hitam.
"Sebenarnya ini teknik yang sudah lama di Batak, tapi cukup sudah punah ya. Tapi 10 tahun coba kami gali-gali dan, tahun lalu baru kami launching teknik warna hitam itu," paparnya.
Tak hanya Dame Ulos, Bank Indonesia juga mendukung pengembangan pariwisata di kampung wisata Huta Raja di Desa Lumban Suhi Suhi Toruan, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Di sini, terdapat belasan rumah adat yang berjejer rapi dan menjadi salah satu daya tarik utama wisata. Selain itu, para ibu rumah tangga di sana juga menjadi penenun ulos.
Menurut penuturan Kepala Desa Lumban Suhi Suhi Toruan, Raja Sondang Simarmata, kegiatan menenun di kawasan tersebut sudah berlangsung sejak nenek moyang mereka. Hingga kini, terdapat 50 orang penenun yang setiap harinya membuat kain ulos di depan rumah mereka.
dok. Moch Prima Fauzi/detikcom |
Kemudian pada 2019, Presiden RI Ke-7, Joko Widodo, melakukan revitalisasi dengan menjadikannya kawasan strategis pariwisata nasional. Tak hanya wisatawan dalam negeri, kampung wisata Huta Raja banyak dikunjungi turis-turis asing dari berbagai negara seperti Prancis, Jerman dan Spanyol.
Raja mengatakan dukungan dari Bank Indonesia berdampak besar terhadap perkembangan pariwisata di Huta Raja. Selain dibantu pengadaan fasilitas galeri untuk kain ulos dan peralatan untuk kafe, Bank Indonesia juga turut melakukan pendampingan pengembangan usaha tenun ulos.
"Seperti sekarang yang kita lihat, masuk ke sini sudah satu pintu, melalui pembinaan dari BI juga ada sistem, jadi pungli dan segala macam sudah tidak ada. Jadi tersistem dia pakai tiket di depan, galeri juga ada dilengkapi dengan sistem yang di-supportsama Bank Indonesia, dan mereka juga sering melakukan evaluasi. Sehingga masyarakat bisa berkembang, tidak hanya dapat uang, tapi juga wawasan, dan sekarang masyarakat bisa berkembang dengan sendirinya," tutur Raja.
Tenun yang dibuat dengan alat tradisional di sini, dijual dengan rentang harga mulai Rp 100.000 hingga Rp 5 juta dengan omzet mencapai Rp 300 juta per tiga bulan. Promosi dilakukan dengan memajang hasil kriya di galeri maupun secara digital di sosial media. Selain itu, digitalisasi juga merambah ke sistem pembayaran di galeri yang sudah menerapkan sistem QRIS.
Harumkan Aroma Kopi Arabika Lintong
Sejak lima tahun lalu, Bank Indonesia juga telah mendukung produksi kopi jenis Arabika Sumatera Lintong di kawasan Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Bank Indonesia telah membantu produksi kopi dari hulu hingga hilir mulai pembibitan, pengadaan mesin, penyediaan pupuk organik, hingga terbaru akan melakukan pengadaan mesin sortir kopi.
"Kami di Bank Indonesia Sibolga melihat bahwa pengembangan kopi itu harus kita mulai dari sisi hulu. Sisi hulu dari ketersediaan produknya, baru kita bergerak ke hilirnya. Nah, dari sisi hulu, perbaikan sisi hulu ini sudah kita lakukan di 2025 ini, antara lain kita melakukan pengembangan luas lahan, pemberian bibit, kemudian kita juga mengajarkan kepada para petani kita untuk menerapkan GAP (good agricultural practices) yang baik dan benar. Sehingga potensi kopi itu sangat besar," ujar Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sibolga, Riza Putera.
Secara terpisah, Ketua Koperasi Kopi Lintong Humbang Hasundutan, Manat Samosir mengatakan saat ini pihaknya menaungi sebanyak 900 petani kopi yang tergabung dalam 35 kelompok tani dengan produksi green beanmencapai 2,5 ton per hektar per tahun. Kopi lintong telah terdaftar di Kemenkum dan Indikasi Geografisnya telah terbit sejak 2018.
"Luasan kopi yang ada di Humbang Sundutan itu 12.895 hektare. Terdiri dari 26.035 KK petani kopi yang ada di Humbang Sundutan. Humbang Sundutan ada 10 kecamatan, 6 kecamatan ini adalah menjadi penghasil kopi," jelas Manat.
"Kenapa Arabica Sumatra Lintong? Karena di luar negeri begitu familiarArabica Sumatra Lintong," imbuh dia.
dok. Moch Prima Fauzi/detikcom |
Manat menerangkan sebagian besar produksinya masih ditujukan untuk memenuhi pasar ekspor yang mencapai 90%. Sedangkan 10% lainnya untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
Setelah adanya bantuan dari Bank Indonesia, produksi kopi Arabika Sumatera Lintong mampu meningkat secara drastis, dan memberikan penghasilan bagi petani kopi di sekitarnya.
"Ternyata setelah kami teliti, hasil dari kopi Humbang Sundutan tadinya hanya 600 kilo green bean per hektar per tahun. Saat ini, yang sudah terbina di petani kami itu sudah bisa menghasilkan green bean 2,5 ton per hektar per tahun," jelas Manat.
Saat ini harga per kilo gabah (kopi yang sudah dikupas) senilai Rp 60.000. Para petani biasa menjual gabah 75 kilo per dua minggu dengan penghasilan mencapai Rp 9 juta dalam sebulan.
"Per dua minggu. Berarti Rp 75 x Rp 60.000 sekitar Rp 4.500.000. Per bulan dia dapat hampir Rp 9.000.000. Dengan dia menekuni ini (kopi) pun, nanti nggak ada lagi yang mau menghonor. Dia akan menggeluti komunikasi kopi ini," ujar Manat.
Untuk diketahui, kopi dari koperasi ini telah diekspor ke Amerika, Jepang, Taiwan, dan saat ini telah melakukan kerja sama dengan China sebanyak 1.000 ton per tahun senilai Rp 140 miliar. Menurut Manat, kondisi geografis Humbang Hasundutan yang berada di 1.425 MDPL menjadikannya sebagai kawasan ideal untuk kopi jenis Arabika sehingga cita rasanya khas.
Menangkap Peluang Wangi Kemenyan
Selain kopi, Humbang Hasundutan juga memiliki potensi dari produksi kemenyan. Bahan yang berasal dari getah tanaman styrax benzoinyang mengeras ini tak lepas dari kebudayaan dan tradisi masyarakat batak yang menggunakan kemenyan dalam upacara adat.
Salah satu kecamatan penghasil kemenyan adalah Pollung. Dari daerah ini, kemenyan dipanen dari hutan dan dikirimkan ke pulau Jawa untuk diolah menjadi minyak. Kemenyan merupakan zat campuran bagi berbagai industri meliputi minyak wangi, makanan, hingga farmasi.
Salah satu masyarakat yang mencoba melirik pasar kemenyan ini adalah Jerry Lumbangaol, Marlundu Lumbangaol, serta Jeffry Lumbangaol yang tergabung dalam Koperasi Timbo Banzoin Toba. Mereka mengepul kemenyan dari para petani, kemudian mengolahnya menjadi minyak kemenyan. Minyak tersebut mereka gunakan sebagai campuran minyak wangi.
"Leluhur kami nggak kenal, atau tidak paham bahwa kemenyan ini bisa jadi apa. Ternyata seperti kami yang generasi muda ini, mencoba cari tahu ada seratus lebih turunan produk dari kemenyan. Bisa untuk pengawet, bisa untuk parfum, bisa untuk farmasi. Dan ini mengakibatkan kami mencoba melihat dan mengupayakan lah, bagaimana meningkatkan nilai produk komunitas ini menjadi dinikmati oleh petani," ujar Jerry Lumbangaol, Bendahara Koperasi Timbo Benzoin Toba.
![]() dok. Moch Prima Fauzi/detikcom |
Mengutip data BPS, pada tahun 2021 luas area lahan pohon kemenyan di Humbang Hasundutan sebanyak 4.935 hektare dengan produksi 3.485 ton. Menurut Jerry saat ini harga kemenyan di tingkat petani seharga Rp 200.000 per kilogram yang masih berwujud getah keras. Sedangkan jika telah disuling menjadi minyak kemenyan harganya mencapai Rp 3 juta satu liter.
"Di Humbang ini ada beberapa pengepul besar. Nah, mereka ini nampaknya (menjual) ke provinsi lain, ke Jawa Timur. Nah, itu yang kita rasa, supaya manfaatnya lebih banyak ke petani aja. Ini (kami hargai) Rp 250 ribu ke petani. Pengepul jual ke Jawa itu sudah Rp 600 ribu. Orang dari aggregator (pengekspor) yang di Jawa tadi, ngelempar ke Singapura atau ke Eropa itu sudah Rp 1,5 juta, Rp 2 juta," jelasnya.
Koperasi Timbo Benzoin Toba, saat ini menaungi 40 orang petani dengan daya serap hasil petani 40 kilogram. Kini mereka merintis untuk menyuling bongkahan kemenyan menjadi minyak. Dari 40 kilogram kemenyan, mereka bisa menghasilkan 5 hingga 10 liter minyak kemenyan.
Sekadar diketahui, kemenyan diambil dengan cara mencongkel kulit pohon styrax benzoin. Seperti karet, pohon tersebut akan mengeluarkan getah yang jika didiamkan lama-lama akan mengeras. Proses produksi kemenyan dari pohon bisa memakan waktu hingga tiga bulan. Para petani biasanya akan tinggal di hutan sebelum panen selesai.
Sementara untuk menjadi minyak kemenyan, bongkahan kemenyan akan dihaluskan menjadi bubuk, kemudian disuling dengan proses destilasi (metode pemisahan campuran yang didasarkan pada perbedaan tingkat volatilitas kemudahan suatu zat untuk menguap pada suhu dan tekanan tertentu), menggunakan alat khusus. Inilah yang menjadi tantangan bagi koperasi ini agar mampu meningkatkan produksi minyak kemenyan karena keterbatasan biaya.
"Alatnya mahal, Rp 100-an juta. Ini dibeli oleh Pemkab Humbang Hasundutan karena ada kerja sama dengan BRIN. Jadi kami menyuling ini. Itu pun numpang di PLUT (Pusat Layanan Usaha Terpadu) punya Pemkab. Mereka dapat bantuan dari Kemenkop," ujar Jeffry Lumbangaol, yang berperan sebagai tim formulasi di Koperasi Timbo Benzoin Toba.
(adv/adv)











































dok. Moch Prima Fauzi/detikcom
dok. Moch Prima Fauzi/detikcom
dok. Moch Prima Fauzi/detikcom