Fokus pemerintah adalah untuk barang-barang elektronik seperti telepon genggam, komputer dan lain sebagainya. Kebijakan ini diterbitkan untuk melindungi sektor riil dari dampak krisis perekonomian dunia.
"Artinya yang bisa mengimpor adalah produsennya di sini. Mereka harus membuat pabrik disini agar bisa menjual produknya," kata Deputi Menteri Koodinator Perekonomian bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady, di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu (15/10/2008).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edy mengatakan atas barang konsumsi yang tidak memiliki PI izin impornya akan diserahkan pada satu Importir Terdaftar (IT) yang ditetapkan Departemen Perdagangan. Umumnya hak impor diberikan pada IT atau PI yang mendistribusikan barang sejenis.
"Misalnya, kalau handphone itu diserahkan pada importir kalkulator, atau produsen merek lain," jelasnya.
Selanjutnya, pemerintah akan memberikan batas waktu tertentu, misalnya enam bulan hingga dua tahun bagi produsen asal barang impor untuk membuat pabrik di Indonesia.
"Jika tidak mereka akan kehilangan pasarnya di sini," katanya.
Adapun fokus pertama kebijakan ini adalah penertiban hak impor barang konsumsi yang end user atau dibeli masyarakat umum, misalnya elektronik seperti telepon genggam, dan komputer.
"Saat ini yang baru punya pabrik di Indonesia baru LG," ujarnya.
Sementara untuk kelompok barang impor yang dikonsumsi perusahaan akan diatur dalam deletion program. Aturan ini menghentikan impor bahan baku produk konsumsi masyarakat yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri.
Selain itu kebijakan ini juga bertujuan untuk menghidupkan industri bahan baku dan barang modal di dalam negeri.
Aturan pembatasan hak impor ini sedang dikoordinasikan antara Departemen Perdagangan dengan Departemen Perindustrian.
Kebijakan ini sudah disetujui pada level Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. "Akan diterbitkan oleh salah satu (menteri)," imbuhnya. (dnl/ddn)