BAT membeli saham tersebut milik PT Rajawali Corpora dan pemegang saham lain senilai US$ 494 juta. Masuknya perusahaan asing untuk berkespansi bisnis rokoknya dikhawatirkan bisa memperluas pangsa pasar perokok di Indonesia. Yang artinya, bakal makin banyak konsumen yang jadi target pasar perusahaan rokok.
"Indonesia tidak mendapatkan keuntungan dari itu, hanya penyakitnya saja yang kita dapatkan sementara negara luar sangat menikmati keuntungan dari itu," kata Ketua TCSC IAKMI (Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) Widyastuti Soerojo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masuknya pemain asing di industri rokok lokal juga dikhawatirkan akan meningkatkan pengangguran di Indonesia, karena pabrik rokok yang padat karya akan diganti oleh mesin-mesin canggih.
Abdillah Ahsan, dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia mengatakan perusahaan luar negeri membeli saham pabrik rokok di Indonesia dengan harga di atas rata-rata. Ini karena mereka yakin penjualan rokok di Indonesia pada masa mendatang akan meningkat dan terbuka peluang mendapatkan keuntungan yang besar.
Sebelum aksi akuisisi Bentoel oleh BAT, saham HM Sampoerna lebih dulu dikuasai oleh Philip Moris. Alhasil, HMSP yang semula duduk di urutan ketiga kini menjadi pemimpin pasar rokok nomor satu. Sebagian besar keuntungan industri rokok di Indonesia pun akhirnya dibawa ke luar negeri sementara dampak negatifnya ditanggung rakyat Indonesia.
"Hal ini karena peraturan pengendalian terhadap rokok di Indonesia masih sangat lemah. Yang terjadi adalah adanya transfer pendapatan dari masyarakat miskin dan anak-anak yang mengomsumsi rokok ke perusahaan luar negeri," ujar Abdilah.
Indonesia merupakan negara terbesar ke lima dalam hal konsumsi rokok di dunia. Tingginya konsumsi rokok di Indonesia karena tidak adanya undang-undang yang mengatur pengendalian dampak tembakau.
"Kesehatan industri rokok dinilai pemerintah lebih penting daripada kesehatan masyarakatnya," ujar Widyastuti.
Sementara Dr. Kartono Mohammad menerangkan sejak tahun 1960-an industri rokok di Amerika Serikat merosot tajam. Hal ini karena masyarakat Amerika mulai sadar akan pentingnya kesehatan.
"Negara itu dengan jelas mengikuti peraturan PBB bahwa menjadi kewajiban setiap negara untuk melindungi anak-anak dari ancaman rokok,"ujar Kartono.
Masuknya industri rokok transnasional juga dikhawatirkan memberikan dampak kerusakan berlipat ganda. Dampak secara langsung meningkatkan keuntungan yang diambil dari orang miskin, remaja dan perempuan yang menjadi potensi pangsa pasarnya.
Dampak secara tidak langsung memicu persaingan merebut pasar dari industri rokok domestik raksasa lainnya, karena sejak Sampoerna dibeli oleh Philip Morris berhasil mengangkat pangsa pasar Philip Morris dari peringkat ketiga menjadi peringkat pertama.
"10 tahun yang lalu kanker paru-paru berada di urutan ke 5, namun sekarang kanker paru naik menjadi urutan ke 3 setelah kanker serviks dan kanker payudara, dan 9 dari 10 penderita kanker paru adalah perokok," ungkap Soeminar Siregar dari Yayasan Kanker Indonesia.
Pada tahun 2000, terdapat 2 juta orang meninggal per tahun akibat rokok dengan 1 juta orang dari negara maju dan 1 juta orang dari negara berkembang. Diprediksikan pada tahun 2020, akan ada 3 juta orang akan meninggal per tahun pada negara maju dan 7 juta orang akan meninggal per tahun di negara berkembang akibat rokok.
"Sebaiknya pemerintah segera memprioritaskan pembahasan RUU pengendalian dampak tembakau untuk membuktikan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat yang menjadi korban adiksi, melarang iklan dan promosi barang adiktif, meningkatkan cukai dan harga rokok dan mengalokasikan sebagian pendapatan cukai untuk kesehatan masyarakat, serta memberikan pendidikan bagi masyarakat luas," tutur Widyastuti.
(ir/lih)