"Saya usulkan ada ekspor tax (bea keluar) yang signifikan, kalau tidak sama saja kita mensubsidi China," kata Direktur Utama PT Krakatau Steel Fazwar Bujang dalam acara diskusi Revitalisasi BUMN Manufaktur Strategis, di Kemenperin, Jakarta, Selasa (24/8/2010).
Ia mengatakan deposit atau cadangan bijih besi di Indonesia tidak lebih dari 2 miliar ton. Itupun tersebar dalam jumlah kecil di berbagai titik di kepulauan Indonesia, yang selama ini dieksplorasi lalu diekspor seperti ke China.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan sejalan dengan revitalisasi Krakatau Steel yang menelan dana kurang lebih US$ 570 juta, termasuk pengembangan teknologi blashfurnance senilai US$ 220 juta dan US$ 350 untuk modernisasi.
Maka bijih besi dengan kadar fe rendah yang selama ini mendominasi deposit bijih besi Indonesia bisa diolah di dalam negeri. Sehingga total 100% impor bijih besi yang selama ini dilakukan oleh KS bisa dikurangi.
"Kalau lah kita bisa memanfaatkan 20-30%, kalau 25% saja sudah cukup bagus, membuat posisi KS menjadi lebih baik," katanya.
Sementara itu Dirjen Industri Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka (ILMTA) Kementerian Perindustrian Ansari Bukhari mengatakan meski saat ini bijih besi Indonesia banyak diimpor, namun prosesnya sudah mulai ada pembenahan yaitu kewajiban verifikasi ekspor.
Dikatakan Ansari pengenaan bea keluar terhadap ekspor bijih besi bisa saja dilakukan namun masalahnya di dalam negeri sendiri bijih besi belum bisa diolah. Sehingga alibi yang kuat untuk mengenakan bea keluar lemah, meski alasan lingkungan bisa menjadi alasan lain untuk mengerem laju ekspor bijih besi.
"Kalau secara strategi seharusnya jangan dibiarkan (ekspor). Kalau ekspornya luar biasa, lama-lama habis," katanya. (hen/dnl)