Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sutrisno Iwantono mengatakan ada 5 masalah mendasar yang terus mengancam volatilitas (fluktuatif) harga pangan dunia.
Masalah pertama adalah perdagangan pangan dunia saat ini terkonsentrasi ditangan sejumlah kecil negara. Untuk beras dikuasai oleh China, India, Amerika, Jepang dan sejumlah kecil oleh Thailand dan Vietnam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalah kedua, lanjut Sutrisno, soal tidak transparannya informasi mengenai produksi dan stok pangan dunia. Menurutnya masing-masing negara enggan membuka secara sungguh berapa sebenarnya produksi dan persediaan pangan mereka, apalagi stok yang dikuasai perusahaan global. Sehingga menyebakan kesulitan untuk memprediksi keseimbangan supply and demand yang menentukan tingkat harga pasar.
"Transparansi data haruslah dibahas secara, negara-negara penguasa produksi dan perusahaan yang memegang stok pangan haruslah bersedia membuka data sehingga dapat dilakukan perencanaan dan proses stabilisasi harga," katanya.
Dikatakannya, masalah ketiga bahwa tingkat produksi dan konsumsi kini tidak secara otomatis menentukan perkembangan harga pasar. Pangan sudah masuk dalam pasar komoditi dan perdagangan berjangka.
Sutrisno menuturkan, para investor, fund manager dan spekulan kini menjadi penentu utama, padahal mereka itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertanian. Bila mereka kelebihan dana dan ingin masuk pasar, maka melonjaklah harga. Ketika harga sudah dirasa cukup tinggi dan mereka perlu profit taking maka jatuhlah harga.
"Ini juga merupakan isu yang sangat kritis untuk dibahas yakni bagaimana membatasi pengaruh para investor, fund manager dan spekulan di pasar komoditi," katanya.
Isu lainnya adalah soal hambatan perdagangan praktek yang sering dilakukan berbagai negara untuk mengurangi ketersediaan pangan di pasar dunia dengan cara melarang, membatasi, dan menghambat ekspor.
Menurutnya ini terjadi misalnya beberapa waktu lalu saat terjadi krisis, sejumlah negara temasuk China, Thailand menghentikan ekspor beras. Sejumlah negara lain yang tidak mampu memproduksi pangan sendiri menjadi korban, bahkan memicu kegoncangan politik sebagaimana terjadi di negara-negara Arab.
"Karena itu dalam Pertemuan G20 ini haruslah ada kesepakatan agar masing-masing negara anggota tidak memberlakukan kebijakan pembatasan ekspor," katanya.
Masalah terakhir adalah soal bencana kelaparan dunia yang kemungkina akan dialami oleh negara-negara terbelakang yang tidak memiliki ketahanan pangan. Ia menilai perlu adanya kesepakatan untuk membentuk stok pangan global yang dicadangkan menghadapi terjadinya bencana kelaparan.
"Kita meminta agar Tim Negosiator Pemerintah nantinya sepulang dari Paris dapat membawa oleh oleh yang bermanfaat bagi petani, khususnya adanya program kongkrit agar petani tidak selalu menjadi korban kekacauan pasar global," katanya.
(hen/ang)











































