Hadapi Ancaman Krisis, Pemerintah Jangan Arogan

Laporan dari Singapura

Hadapi Ancaman Krisis, Pemerintah Jangan Arogan

Angga Aliya ZRF - detikFinance
Selasa, 23 Agu 2011 10:25 WIB
Hadapi Ancaman Krisis, Pemerintah Jangan Arogan
Singapura - Di saat risiko ekonomi tinggi seperti saat ini, pemerintah di dunia diminta lebih mendengarkan aspirasi rakyat. Jika hanya mengeluarkan kebijakan tanpa melibatkan masyarakat, gejolak politik dan perlawanan terhadap kebijakan bisa terjadi.

Menurut Bernard Young, Dekan Universitas Bisnis Nasional Singapura, pemerintah harus mau mendengarkan apa yang diinginkan masyarakat, tidak hanya memberikan dan mengatur kebijakan saja.

"Jadi jangan hanya menjadi supir yang membawa mobil saja, tetapi harus dengarkan juga para penumpangnya yaitu masyarakat," kata Young dalam diskusi The Premiere Business Leadeship Series, Marina Bay Sands, Singapura, Selasa (23/8/2011).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal yang serupa diungkapkan Managing Director Chief Asia Pacific Economist and Head of Asia Pacific Market Analysis Citigroup Johanna Chua. Menurutnya, gejolak perlawanan terhadap pemerintah yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia, banyak diakibatkan arogansi pemerintah yang mengacuhkan pendapat warganya.

"Jadi banyak terjadi rage againts policy (perlawanan terhadap kebijakan) di beberapa negara, seperti di Timur Tengah, London, Yunani, Amerika dan banyak lagi," ujar Johana.

Johana mengatakan, jika pemerintah masih melakukan hal yang sama, kekacauan yang sama bisa terjadi di negara-negara berkembang di Asia. Saat arus modal masuk, namun pemerintah memberlakukan kebijakan yang seenaknya, atau tidak mendukung kepada kepentingan rakyat, maka gejolak tersebut bisa terjadi.

"Seperti di China, kalau pemerintahnya hanya terus-terusan mendorong investasi namun tidak pada sektor yang tepat maka risikonya akan meningkat dan memicu rage against policy tadi," ungkapnya.

China saat ini memiliki beberapa tantangan dalam investasinya, meski arus modal yang masuk sangat tinggi. Masalah yang terjadi antara lain investasi di negeri tirai bambu tersebut hanya fokus di manufaktur, sementara infrastruktur lain seperti kesehatan dana perumahan penduduk.

"Investasi di China itu tinggi, tapi salah sasaran. Masalah lingkungan, perumahan dan kesehatan masyarakatnya tidak terjangkau investasi," kata Vikram Nehru, Kepala Ekonom World Bank untuk Asia Pasifik.

Menurut Nehru, yang penting dalam berinvestasi bukan tingginya arus modal yang masuk, tapi lebih kepada sasarannya. Indonesia sendiri juga sedang bersiap untuk menerima arus modal yang masuk sebagai negara berkembang di Asia.

Pemerintah Indonesia sebaiknya bisa memberikan kebijakan yang lebih mendengarkan pendapat masyarakat ketimbang hanya menentukan sasaran investasi sendirian. Risiko yang bisa terjadi jika masyarakat diacuhkan salah satunya adalah gejolak politik dan perlawanan terhadap kebijakan.

(ang/dnl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads