"Gaji Peneliti Utama dan Perekayasa Utama di Indonesia yang hanya sekitar 5 % dari gaji profesi yang sama di negara tetangga dan hanya 1% dari gaji di negara industri maju menunjukkan bahwa kita telah mematikan masa depan bangsa ke depan karena dipastikan akan menurunkan daya saing serta akan mendorong brain drain-perginya orang-orang pintar ke luar negeri," kata Ketua Umum PII Muhammad Said Didu kepada detikFinance, Selasa (25/10/2011)
Untuk itu, lanjut Said, Persatuan Insinyur Indonesia meminta kepada Pemerintah dan DPR agar memberikan perhatian khusus tentang hal tersebut. Ia mengharapkan agar semua pihak tidak terjebak dengan kepentingan politik jangka pendek dan demi kekuasaan saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan sangat memprihatinkan jika gaji seorang profesor riset di Indonesia hanya Rp 5,2 juta per bulan. Sementara itu menurut Said, gaji Guru SD di Serang Rp 6,5 juta, guru SD di DKI Rp 8,6 juta. Ini sangat ironis jika dibandingkan dengan gaji profesor riset di negara tetangga Rp 90 juta dan gaji profesor riset di Jepang Rp 600-900 juta per bulan.
"Semoga menjadi penyadaran sebelum semua orang pintar tidak mau lagi 'bunuh diri' menjadi profesi peneliti," ketusnya.
Masalah ini juga disampaikan oleh Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Hudi Hastowo, Hudi mengatakan saat ini saja banyak tenaga ahli nuklir Indonesia termasuk rekan-rekan sejawatnya yang bekerja dan mengajar di negara tetangga seperti di Malaysia. Sementara di sisi lain, pemerintah Indonesia masih enggan menggunakan tenaga nuklir sebagai sumber listrik.
"Kalau saya, lebih repot lagi SDM nuklir kita banyak yang pindah ke sana. Mengapa tidak? sekarang banyak yang bekerja sebagai dosen, beberapa orang. Saya merasakan sudah banyak yang bekerja di Malaysia, seperti kawan saya kerja disana," kata Hudi.
(hen/dnl)