Ketua Komite Pedagang Grosir Tekstil Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Heris menyatakan banyak produsen pakaian jadi yang terpaksa gulung tikar karena banyaknya pakaian jadi impor yang masuk ke dalam negeri.
"Sudah banyak yang mati, baju anak-anak yang dibanjiri China dan Korea sudah mati 75%, celana jeans sudah mati 90% yang lokal, pakaian dalam 95% yang mati, sprei dari China buat 90% mati, kalau yang dari India itu buat mati produsen koko lokal, batik dari China, Korea, India, Vietnam, Thailand ada tapi kalah kualitasnya sama yang lokal," ujar Heris kepada detikFinance, Rabu (20/2/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Produk impor ini menang didesain dan aksesoris, untuk pakaian dalam saja, produk impor bisa memiliki 200 warna. Pengusaha kita kurang kreatif padahal dibanjiri pakaian dalam," jelasnya.
Heris menambahkan kondisi barang impor saat ini lebih parah jika dibandingkan dengan tahun lalu. Kini, para produsen pakaian jadi yang gulung tikar itu hanya bisa menjadi pedagang pakaian.
"Lebih parah sekarang, setiap tahun ada penurunan produksi, orang jualan banyak tapi yang dijual barang impor, ya yang menjual itu para produsen ini, mereka jadi penjual saja," katanya.
Heris menyatakan impor tekstil tidak jadi masalah selagi yang diimpor merupakan bahan baku industri pakaian jadi sehingga bisa menjadi pendukung industri lokal. Menurutnya kenyataan ini jika dibiarkan produk jadi ini masuk maka akan merugikan industri dalam negeri.
"Kalau bahan baku, tidak ada masalah karena jadi bahan pendukung," ujarnya.
Untuk itu, lanjut Heris, pihaknya meminta pemerintah untuk memberikan perhatian terhadap masalah ini. Caranya, dengan kebijakan pembatasan impor pakaian jadi dengan hanya menyediakan satu pintu masuk untuk pakaian jadi dan dua pintu masuk untuk impor bahan tekstil di pelabuhan atau bandara.
"Kita minta pintu masuknya dibatasi. Untuk pakaian jadi di Tanjung Priok, kalau tekstil bisa di Semarang sama Tanjung Priok. Ini demi industri garmen dan UKM. Kita sudah sampaikan ke Kemendag (kementerian perdagangan) tapi tidak ada respons," keluhnya.
Selain itu, Heris mengharapkan agar tidak ada permainan antara importir dengan aparat Ditjen Bea Cukai yang dinilai selama ini membiarkan pakaian jadi impor ini 'membanjiri' pasar Indonesia.
"Jadi izinnya bawa tekstil, tapi ternyata cuma berapa bahan tekstilnya selebihnya banyak bawa pakaian jadi," pungkasnya.
(nia/hen)