Devi harus melayani sekitar 12 pria hidung belang saban hari. Dia hanya mendapatkan sekitar Rp 16 ribu saja dari tiap tamu yang dilayaninya. Belum lagi perlakuan buruk dari tamu maupun induk semang.
Tapi tak ada yang bisa dilakukannya untuk menghentikan tradisi kaum Bedia. Begitu pun pemerintah India. “Sangat sulit dihentikan,” kata Niraj Pawan, seorang pejabat tinggi di Bharatpur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihak yang kalah mengungsi ke hutan-hutan dan menjadi kaum nomadik. Sedangkan kaum perempuannya kemudian dijadikan pelacur. Dari sinilah tradisi itu bermula. Tradisi yang sama juga ada di beberapa komunitas lain di India, seperti Nat dan Kanjar.
Kaum itu menganggap, anak perempuan adalah berkah karena bisa jadi sumber pendapatan keluarga. Banyak anak-anak kecil kemudian disuntikkan hormon khusus untuk mempercepat pertumbuhan payudara. Setelah itu, anak-anak dijual ke tempat-tempat prostitusi.
Sedangkan anak lelaki kerap mengalami penyiksaan. Seperti yang dialami Swati Kumari dari Bharatpur. Perempuan 25 tahun ini melarikan diri ke rumah orang tuanya setelah melahirkan seorang anak laki-laki. Suami dan mertuanya menyiksa Kumari dan putranya setiap hari.
“Saya tidak akan ceritakan semua yang sudah mereka lakukan pada saya,” kata Kumari. Keluarga Kumari sudah melaporkan penyiksaan itu kepada polisi. Kumari bilang, keluarga suaminya memaksa dirinya menjadi pekerja seks dan kalau menolak, dia akan terus disiksa.
Begitu berharganya anak perempuan sampai-sampai kerap juga terjadi penculikan bayi perempuan di antara komunitas Bedia, Nat, dan Kanjar. Aparat keamanan tak bisa berbuat banyak untuk mengendalikan hal itu. Pada sejumlah kasus, penegak hukum malah terlibat.
Tapi pihak kepolisian membantah bahwa pihaknya tak acuh. Alok Kumar, seorang deputi komisioner di Delhi mengatakan pihaknya secara rutin melakukan operasi penyelamatan perempuan korban penyelundupan dari distrik lampu merah di New Delhi. Dia bilang kurang tahu kalau ada polisi yang terlibat.
Lain di Bedia, lain pula di beberapa wilayah di selatan India. Di sana, anak perempuan banyak yang tak diinginkan kelahirannya, sehingga ada ibu yang tega membunuh putrinya karena menunggu anak lelaki. Kisah-kisah tragis seperti itulah disuarakan kelompok Invisible Girl Project yang didirikan Jill McElya dan suaminya, Dr. Brad McElya pada 2009.
Mereka meminta perhatian masyarakat global akan buruknya perlakukan terhadap perempuan di India. Mereka juga membantu sejumlah organisasi di India untuk menyelamatkan para korban.
Dalam sebuah dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, baru-baru ini, McElya memboyong beberapa saksi hidup. Salah seorang saksi bercerita, dirinya adalah anak ke-12 tapi satu-satunya yang dibiarkan hidup. Ke-11 kakaknya telah dibunuh orangtuanya sendiri karena mereka menunggu anak lelaki.
Saksi lainnya, yang menyebut dirinya Asha, adalah seorang ibu yang ditekan keluarga dan lingkungannya untuk mengandung anak lelaki. Anak pertamanya perempuan dan untungnya dibiarkan hidup. Pada kandungan kedua, Asha stres bukan main karena suami dan keluarganya sudah mengancam. Kalau yang lahir anak perempuan lagi, dia harus membunuhnya.
Bayi yang lahir itu ternyata perempuan. Asha menolak membunuhnya. “Tapi suatu malam, saya terbangun dan tak mendapati putri saya di sebelah saya, beberapa waktu kemudian saya mendengarnya menangis di kejauhan, keesokan harinya saya tahu bahwa keluarga saya menenggelamkannya di sebuah kolam,” katanya sambil terisak.
McElya meminta pemerintah Amerika membantu penyelesaian masalah itu. “Kalau India harus menerima bantuan keuangan dari Amerika Serikat, mereka harus melaporkan juga upaya mereka mencegah pembunuhan-pembunuhan seperti ini dan melindungi hidup anak-anak perempuan mereka,” kata McElya.
(DES/DES)