“600 tahun setelah masehi, seorang gembala menemukan biji kering di bawah semak saat menggembalakan kambing dan dombanya di dataran tinggi Iran,” kata Aslani, pemilik jaringan gerai kopi Raees Coffee di Iran itu.
Benar atau tidak, belum ada yang memverifikasi. Yang jelas, Aslani dan gerai kafenya sangat populer di seluruh Iran. Di sini tersedia kopi, makanan dan kue-kue ringan, koneksi WiFi, yang membuatnya jadi salah satu pusat nongkrong anak-anak muda Iran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Raees tak sebandinglah dengan Starbucks,” kata Aslani.
Kegandrungan orang Iran akan kopi memang meningkat. Bea Cukai Iran mengindikasikan bahwa impor kopi di Iran meningkat tajam. Saat ini nilainya mencapai US$ 3 juta. Padahal, lima tahun lalu hanya US$ 600 ribu.
"Ada banyak hal yang bisa dilakukan orang Iran di kedai kopi, seperti mendengarkan musik, membaca buku, atau bekerja dengan komputer,” kata Neda, seorang perempuan Iran berusia 27 tahun, di sebuah kafe di utara Teheran.
Apa yang dilakukan Raees, dengan model kafe, menu, dan logo itu, ternyata dilakukan oleh sejumlah pemilik restoran cepat saji lainnya. Ada yang meniru model McDonald's, Pizza Hut, dan Subway, yang berasal dan populer di Amerika Serikat.
Meski AS itu dianggap musuh oleh pemerintah negeri para Mullah itu, makanan asal AS ternyata justru dianggap berkelas oleh masyarakat Iran. Burger, roti lapis, dan kopi, menjadi gaya hidup yang disukai anak-anak muda Iran.
Mengapa makanan Amerika itu bisa sukses, meski Iran dan pemerintahnya terkenal paling anti-Amerika? “Burger bukan lagi ciri Amerika,” kata Javadi, pemilik gerai BurgerHouse di Teheran. “Burger adalah makanan favorit dunia, itu yang membuatnya disukai.”
(DES/DES)