Anggapan Kuno Paralayang: Mahal dan Berisiko Tinggi

Paralayang, Terbang Tanpa Sayap (3)

Anggapan Kuno Paralayang: Mahal dan Berisiko Tinggi

- detikFinance
Jumat, 07 Feb 2014 14:36 WIB
Foto: Antara
Jakarta - Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menggemari paralayang. Maklum, alam nusantara banyak menawarkan tempat yang sempurna untuk aktivitas ini. Oleh karena itu, klub-klub paralayang pun menjamur di penjuru tanah air.

Salah satu klub paralayang di Indonesia adalah Merapi Paragliding. Klub ini sudah berdiri sejak 1990, dan memiliki sekitar 100 anggota aktif.

“Latar belakang pendiriannya adalah keinginan kami untuk memasyarakatkan aktivitas kedirgantaraan di Indonesia. Kami berupaya untuk mempopulerkan olahraga udara ini menjadi hobi, prestasi, maupun sarana wisata terbang alam bebas yang positif dan telah digemari masyarakat,” kata Gendon Subandono, salah seorang penggagas terbentuknya Merapi Paragliding.

Anggota Merapi Paragliding, lanjut Gendon, tersebar di berbagai wilayah. Namun yang terbanyak berasal dari Jakarta, Jawa Barat, dan Yogyakarta. Usia para anggota bervariasi, mulai dari 15 tahun hingga 65 tahun.

Klub ini punya kegiatan rutin yaitu berpalayang di daerah Puncak, Jawa Barat. “Namun kadang kami juga bepergian ke daerah lain di Indonesia,” ujar Gendon.

Tidak hanya menjadi wadah kumpul-kumpul, Merapi Paragliding juga membuka kursus paralayang. Sebelum menekuni paralayang memang sebaiknya kursus terlebih dulu agar lebih menguasai aspek keamanan dan keselamatan dalam aktivitas ini.

“Kami telah memperkenalkan dan mengajarkan kepada banyak orang seputar praktek dan teori. Pola pengoperasian pengajaran terbang disesuaikan dengan prosedur standar Federasi Aerosport Indonesia bidang paralayang,” kata Gendon.

Lokasi pelatihan, demikian Gendon, antara lain di Bukit Sentul, Bukit Puncak 250, dan lokasi alternatif seperti Sumedang dan Majalengka. Materi yang diajarkan adalah pengenalan peralatan, tata cara terbang, etika kedirgantaraan (airmanship), meteorologi, dan sebagainya.

Untuk mengikuti kursus paralayang, Merapi Paragliding mematok tarif Rp 7 juta. “Jangka waktu kursus biasanya 10 hari, dan siswa melakukan 45 kali penerbangan,” ucap Gendon.

Peminat kursus paralayang, tambah Gendon, cukup banyak. Mereka biasanya datang dari wilayah Jakarta, Bogor, dan Bandung. Latar belakangnya juga bervariasi, mulai dari pelajar sampai eksekutif muda.

Gendon sendiri sudah menggemari paralayang sejak akhir 1989. Pada dasarnya laki-laki berusia 52 tahun ini memang menggemari aktivitas di alam terbuka.

“Saya juga tertarik dengan dunia dirgantara, dan akhirnya saya mulai menggeluti paralayang. Saya menyukai paralayang karena bisa merasakan terbang seperti burung, melihat bumi dengan cara lain yaitu dari angkasa,” tutur Gendon.

Menurut Gendon, prospek paralayang di Indonesia sangatlah cerah. “Prospeknya bagus karena penggemar terus bertambah. Paralayang juga berkembang sebagai wahana pariwisata, terutama untuk terbang tandem,” ucapnya.

Meski demikian, ada tantangan dalam memasyarakatkan paralayang. Gendon berpendapat setidaknya ada dua faktor, yaitu anggapan bahwa aktivitas ini menguras kantong dan berisiko tinggi.

Soal mahalnya hobi ini, Gendon menilai paralayang merupakan aktivitas kedirgantaraan yang paling murah. Berbagai peralatan paralayang bisa saja tidak perlu membeli sendiri, melainkan meminjam dari klub.

“Kalau membeli sendiri, peralatan lengkap untuk paralayang harganya sekitar US$ 3.000-4.500. Itu untuk parasut utama, parasut cadangan, helm, radio, GPS, dan sebagainya. Semua peralatan tersebut masih impor,” papar Gendon.

Tentang keamanan, Gendon menyatakan paralayang sangat aman jika seluruh prosedur dilakukan dengan benar. “Naik sepeda motor di jalan raya bisa saja lebih berbahaya daripada paralayang kok. Jadi yang penting aspek safety-nya harus ditaati dan tahu batasan,” tegasnya.

(hds/DES)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads