Ukraina menjadi sorotan dunia, dan intervensi negara-negara asing pun mulai kentara. Rusia pun terjun dalam konflik ini karena masih punya pengaruh di Ukraina. Crimea menjadi wilayah di mana pengaruh Rusia sangat terlihat.
Crimea merupakan wilayah otonomi di bawah kekuasaan Ukraina. Wilayah ini memang mayoritas didiami etnis Rusia, sehingga punya kedekatan lebih kepada Negeri Beruang Merah. Entah terpaksa atau karena kemauan sendiri, pemerintahan otonom Crimea pun condong ingin kembali ke pangkuan Rusia.
Pada pertengahan Maret lalu, rakyat Crimea pun mengadakan voting untuk memutuskan apakah akan merdeka atau tetap menjadi bagian dari Ukraina. Hasilnya, 96 persen menyatakan ingin merdeka dan pada 17 Maret parlemen Crimea mengajukan permohonan untuk bergabung dengan Rusia.
Vladimir Putin, Presiden Rusia, menyambut Crimea dengan tangan terbuka. Putin menyatakan bahwa Crimea adalah bagian dari Rusia yang memiliki peranan strategis.
Peristiwa ini menyulut kemarahan dunia. Pihak Ukraina menegaskan bahwa referendum di Crimea ilegal. Majelis Umum PBB pun mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menyatakan bahwa referendum Crimea yang didukung Rusia tidak valid. Resolusi tersebut didukung oleh 100 dari 193 negara.
Amerika Serikat pun turut memberikan sanksi kepada Rusia. Negeri Paman Sam telah membekukan aset dan larangan bepergian untuk 11 orag-orang penting Rusia. Uni Eropa memberikan saksi serupa, hanya jumlahnya bertambah menjadi 21 orang.
Di bidang ekonomi, Rusia juga sudah resmi didepak dari kelompok negara-negara industri maju, G8. “Hukum internasional melarang pendudukan terhadap bagian atau keseluruhan suatu negara melalui paksaan atau kekerasan. Kami mengutuk referendum ilegal di Ukraina karena melanggar konstitusi Ukrana. Kami juga mengutuk keras upaya ilegal Rusia untuk menduduki Crimea,” tegas pernyataan resmi G8.
Padahal, sedianya pertengahan tahun ini pertemuan G8 akan digelar di Sochi, Rusia. Namun dengan perkembangan terakhir, lokasinya digeser ke Brussel (Belgia).
Kremlin sepertinya santai saja menanggapi terdepaknya negara mereka dari G8. “G8 hanyalah organisasi informal, yang bahkan tidak memberikan kartu anggota. Kebijakan ekonomi dan keuangan lebih ditentukan oleh G20,” tegas Sergey Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia, seperti dikutip dari CNN.
Rusia, lanjut Lavrov, tidak terikat pada format kerja sama seperti G8 dan tidak melihat adanya kerugian jika dikeluarkan dari kelompok tersebut. “Mungkin 1-2 tahun ini kami akan mencoba dan melihat bagaimana kami bisa hidup tanpa G8,” ujarnya.
Seakan ingin membalas, Rusia pun mulai “menyerang” AS dan sekutunya. Ini dimulai dengan langkah kecil, yaitu para pejabat tinggi tidak lagi menggunakan IPad yang merupakan produk asal AS. Kini, mereka memilih menggunakan Samsung asal Korea Selatan.
Nikolai Nikiforov, Menteri Komunikasi dan Media Massa Rusia, menyatakan langkah ini memang belum lama ditempuh pemerintah. Namun dia membantah bahwa Kremlin sedang membalas sanksi dari AS.
“Kami tidak sedang memberikan sanksi atau semacamnya. Samsung menawarkan proteksi lebih sehingga kami bisa bekerja dengan informasi rahasia. Beberapa informasi di rapat-rapat pemerintah memang rahasia, dan perangkat Samsung memenuhi kebutuhan ini,” papar Nikiforov seperti dilansir dari The Guardian.
Akan tetapi, aksi 'berbalas pantun' antara Rusia dan AS plus sekutunya memunculkan interprestasi baru yaitu dimulainya Perang Dingin jilid 2. Apalagi ditengarai Putin ingin membangkitkan kejayaan Rusia seperti di era Uni Soviet.
“Saya tidak mengatakan bahwa ini adalah Perang Dingin baru. Namun akan tergantung pada perkembangan hari-hari ke depan. Intinya kami bersiap untuk menerapkan berbagai langkah dan bisa berlangsung lama jika Rusia terus melakukan hal seperti ini,” kata Willian Hague, Menteri Luar Negeri Inggris, seperti diberitakan BBC.











































