Ternyata, dari total belanja pemerintah pusat yang terbesar adalah untuk subsidi, yang mencapai Rp 333,7 triliun. Belanja subsidi ini terdiri dari subsidi energi yang totalnya Rp 282,1 triliun. Meliputi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 210,7 triliun dan listrik Rp 71,4 triliun.
Subsidi lainnya adalah nonenergi dengan total Rp 51,6 triliun. Ada beberapa sektor yang terkait di dalamnya, paling besar adalah untuk subsidi pupuk yang mencapai Rp 21 triliun.
Kemudian adalah penyediaan beras dengan harga murah untuk rakyat miskin (raskin) sebesar Rp 18,8 triliun. Subsidi pajak Rp 4,7 triliun dan bunga kredit program Rp 3,2 triliun serta subsidi PSO Rp 2,2 triliun.
Subsidi memang anggaran yang terbilang raksasa, dan jumlahnya terus bertambah. Berdasarkan pengalaman 5 tahun terakhir, ternyata 20-30 persen APBN tersedot untuk subsidi.
Pada 2008, realisasi belanja subsidi tercatat Rp 275.3 triliun atau 39,7 persen dari total APBN. Kemudian pada 2009, realisasi subsidi mencapai Rp 138,1 triliun, atau 22 persen terhadap APBN.
Pada 2010, realisasi subsidi adalah Rp 192,7 triliun atau 27,6 persen. Pada 2011 sebesar Rp 295,4 triliun atau 33,4 persen, dan 2012 melonjak menjadi Rp 346,4 triliun atau 34,3 persen.
Sementara pada 2013, belanja subsidi realisasinya tercatat sebesar Rp 348,1 triliun atau 29,1 persen. Total dalam rentang 2008-2013, anggaran negara sudah dihabiskan untuk subsidi mencapai Rp 1.596 triliun.
Dalam rentang waktu 2008-2013, secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp 72,8 triliun atau tumbuh rata-rata 4,8 persen per tahun.
Pertumbuhan yang cukup tinggi ini disebabkan oleh berbagai hal. Subsidi energi tumbuh akibat perubahan asumsi dasar ekonomi makro, antara lain harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan volume konsumsi BBM bersubsidi.
Untuk subsidi pangan, kenaikannya disebabkan oleh kuantum raskin dan jumlah rumah tangga sasaran (RTS). Kemudian subsidi pupuk dan benih naik disebabkan oleh peningkatan volume.
“Tanpa reformasi subsidi, maka anggaran akan terus melonjak drastis beberapa tahun mendatang. Trennya selalu meningkat," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, pekan lalu.
Ia mencatat peningkatan konsumsi BBM setiap tahunnya adalah sekitar 5 persen. Tahun ini pemerintah mematok volume konsumsi BBM bersubsidi sebanyak 48 juta kiloliter, sama seperti tahun lalu.
Sementara program pengendalian tidak sepenuhnya berjalan. Sehingga hampir dapat dipastikan volume konsumsi BBM bersubsidi akan kembali jebol.
"Tahun ini saja anggaran itu pasti jebol karena konsumsi BBM naik. Itu baru dari faktor volume," kata Eko.
Kemudian, lanjut Eko, ada faktor dari pelemahan nilai tukar rupiah. Setiap depresiasi sebesar 5 persen menyebabkan anggaran subsidi BBM berpotensi naik Rp 20,3 triliun.
Selanjutnya adalah faktor harga minyak dunia. Bila harga minyak naik sebesar 5 persen, maka anggaran subsidi BBM kemungkinan bertambah Rp 16,6 triliun.
"Tentunya beban anggaran akan semakin besar bila rupiah ikut melemah atau ICP naik. Banyak faktor yang menentukan dua hal itu, tapi bisa saja terjadi suatu waktu," tuturnya.
Menurut Eko, sangat disayangkan bahwa ternyata 93 persen konsumen BBM bersubsidi adalah kalangan menengah ke atas. “Bagaimana bisa negara mensubsidi dengan anggaran sebesar itu hanya untuk yang tidak seharusnya menerima," tegasnya.
(hds/DES)











































