Sejak Juli 2013, Rusia menghentikan impor produk perikanan dari Indonesia, Filipina, dan Vietnam dengan berbagai alasan salah satunya karena belum terpenuhinya syarat bebas radioaktif.
"Uji seperti bebas radioaktif tentu merupakan hambatan pasar atau barrier to trade. Ini hambatan teknis," ungkap Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP Saut P Hutagalung kepada detikFinance, Senin (12/05/2014).
Menurut Saut, syarat Rusia yang mengharuskan produk perikanan mencantumkan uji residu zat radioaktif tidak masuk akal. Pasalnya Indonesia tidak sama sekali menggunakan bahan dasar nuklir sebagai bahan pengawet atau yang lainnya.
"Memang uji residu zat radioaktif salah satu yang dipersyaratkan otoritas kompeten Rusia. Bagi Indonesia, selain uji ini mahal juga alasan mengapa harus dilakukan uji ini tidak jelas. Indonesia kan tidak mengoperasikan fasilitas pembangkit tenaga nuklir jadi tidak akan ada risiko kebocoran yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Apa alasan yang logis perlu kita ketahui tetapi ini tidak pernah ada alasan yang dapat kita terima," tuturnya.
Dengan adanya kebijakan Rusia ini, nilai ekspor produk perikanan Indonesia periode 2013 dan 2014 ke Rusia dipastikan terganggu. Padahal setiap tahun rata-rata ekspor produk perikanan dan kelautan ke Rusia bisa mencapai US$ 50 juta.
Rusia rutin mengimpor produk perikanan dan kelautan dari Indonesia seperti oil fish (minyak ikan), udang dan tuna. Ia berharap Rusia segera mengirimkan tim inspeksi ke Indonesia untuk melakukan verifikasi kelayakan ekspor perikanan. Selain Indonesia, negara yang dilarang memasukan produk perikanannya ke Rusia antaralain Filipina, Uni Eropa, dan Vietnam.
"Kalau uji bakteri atau lebih pasnya mikrobiologi dapat kita terima. Tentu kita hargai syarat ini, hanya saja jika tidak jelas alasannya kita anggap mengada-ngada," cetusnya.
(wij/hen)











































