TKI, begitu mereka biasa disebut, selalu berkumpul hari Sabtu atau Minggu di sebuah kawasan di Hong Kong bernama Victoria Park. Ribuan dari mereka setiap hari libur selalu berkumpul. Kegiatannya bermacam-macam ada yang berjualan makanan, menyewakan buku, atau hanya bercengkrama dengan teman sekampung di Indonesia.
Di beberapa sudut kawasan ini, mereka tak hanya berkumpul di satu titik. Di depan pertokoan, di trotoar, pinggir jalan, lapangan mereka selalu menikmati hari liburnya ini untuk berkumpul di Victoria Park. Lembaran kertas koran atau tikar mereka hamparkan dari pagi hingga menjelang senja.
"Di sini enaknya PRT (Pembantu Rumah Tangga) kayak orang Indonesia di kantoran, Sabtu Minggu itu libur, tanggal merah libur juga. Nggak kerja sama sekali ya libur. Majikan nggak ngasih kerja," ungkap Rian, salah satu TKI asal Cilacap, Jawa Tengah kepada detikFinance di Sugar Street, Hong Kong, Minggu (1/6/2014).
Bagi seseorang yang sering berkunjung ke Hong Kong, fenomena TKI berkumpul di Victoria Park sudah sangat biasa. Namun bagi pendatang yang baru berwisata ke Hong Kong, fenomena itu cukup menarik.
Hebatnya, pemerintah Hong Kong mentoleransi keberadaan ribuan TKI di kawasan Victoria Park saat hari libur. Walaupun jalanan yang biasanya terlihat tertib dan rapi berubah menjadi semrawut.
Para TKI di Hong Kong sudah mulai beradaptasi dengan orang-orang setempat dalam hal gaya pakaian. Di antara mereka terlihat mereka menggunakan rok pendek, gaya rambut masa kini plus cat warna warni, sepatu bermerek, lengkap dengan jari-jari yang memegang erat ponsel. Aksesoris seperti anting, gelang, kalung, dan bulu mata palsu mereka pasang. Namun ada juga yang bertahan dengan gaya berpakaian ketimurannya.
Dalam sebulan, rata-rata para TKI mendapatkan HKD 6.000 atau sekitar Rp 9 juta. Dibalik semua itu, selalu ada rindu akan kampung halaman. Rian, setiap bulannya tak pernah absen untuk mengirim uang untuk orang tuanya di Cilacap, yang sudah berlangsung 10 tahun.
"Paling nggak kita kirim HKD 3.000-4.000," tambahnya.
Selain ada yang sudah nyaman sebagai TKI di Hong Kong, ada di antara mereka yang berencana pulang dan membentuk perusahaan pupuk di Karawang, Jawa Barat.
TKI yang tak mau disebutkan namanya ini, beralasan tak mau terus bergantung menjadi TKI di negeri orang. Ia bercita-cita ingin memiliki keluarga dan menghabiskan waktunya di Indonesia.
"Saya kerja ini istilahnya kejar target, mau buka perusahaan pupuk di Karawang join sama keluarga," kata TKI yang sudah 6 tahun bekerja di Hong Kong ini.
Berdasarkan informasi yang beredar, warga Hong Kong lebih banyak memilih pekerja dari Indonesia ketimbang dari Filipina. Pekerja asal Indonesia cepat beradaptasi khususnya dalam hal bahasa. Buruh Indonesia di Hong Kong sudah sangat fasih berkomunikasi dengan bahasa Kanton. Indonesia dan Filipina menjadi 2 negara pemasok utama tenaga kerja migran ke Hong Kong.
"Sambil belajar ngikutin majikan. Setahun sudah bisa ngomong," kata Rian.
Namun meski mereka lancar berbicara Bahasa Kanton, bukan berarti mereka bisa membaca dan menuliskannya. Kebanyakan dari TKI di sana tak bisa membaca aksara lokal di Hong Kong.
(zul/hen)